Gak Tani, Gak Hidup 農ガール、農ライフ oleh Miu Kakiya

 

農ガール、農ライフ
Judul : Gak Tani, Gak Hidup
Penulis : Miu Kakiya
Penerbit : Shoudensha
Tahun terbit : 2016
Jumlah halaman: 261
ISBN : 978-4396635060

Kalau judul ini dibaca lantang, anda akan mendengar:  No Girl, No Life. Sebuah permainan kata-kata, karena huruf 農 dibaca のう dalam hiragana, atau NO dalam huruf latin. 農ガール dibaca No Girl, tapi secara tulisan berarti Gadis Petani. 

Roda kehidupan selalu berputar, tak terkecuali untuk perempuan. Begitu juga bagi Kumiko Mizusawa, seorang wanita usia kepala tiga, tokoh kita dalam novel ini. Meskipun dari kecil piatu, hidup dibesarkan oleh seorang single father, Kumiko berhasil lulus dari universitas dan bekerja di perusahaan, selayaknya gadis-gadis lain yang lebih beruntung. Sayang sang ayah juga kemudian meninggal dunia sehingga Kumiko menjadi sebatang kara.

Kumiko yang saat itu mantap berkarir, tidak merasa perlu menikah untuk menjadi sempurna, dan memilih untuk hidup bersama Osamu, teman kuliahnya. Kumiko menolak untuk menikah meskipun Osamu melamarnya, mereka hidup bersama, membagi keuangan dengan setara, demikian juga tugas-tugas rumah tangga. Bahkan ketika perusahaannya dinyatakan pailit dan tertimpa PHK, Kumiko tetap membagi keuangan dan tugas rumah tangga tanpa perbedaan, padahal pendapatan Kumiko kemudian menurun drastis karena hanya bisa bekerja di sebuah perusahaan tenaga outsourcing karyawan, berpindah dari satu kantor ke kantor lain, tanpa jaminan diangkat menjadi karyawan tetap, bahkan tidak jelas apakah kontrak kerjanya akan diperpanjang atau tidak.

Cerita berawal saat Kumiko baru saja menyelesaikan kontrak kerjanya, dan ternyata tak ada pembaharuan kontrak, praktis Kumiko menganggur! Memasuki pintu lobi apartemen yang disewanya bersama Osamu, dia berpapasan dengan wanita muda berparfum fruity nan segar. Wangi yang masih tersisa di lift, semerbak di sepanjang koridor menuju unit apartemennya, bahkan di ruangan apartemennya! Tahulah Kumiko kalau wanita muda itu ternyata adalah pacar Osamu, yang kemudian akan dinikahinya dalam waktu dekat.

Sebuah kisah yang sepertinya akan sangat menyedihkan, bermula di suatu hari di bulan Februari yang dingin, ketika Kumiko kehilangan pekerjaan, penghasilan, teman hidup, bahkan kemudian sekaligus kehilangan tempat tinggal karena Osamu memutuskan akan tinggal di apartemen itu setelah menikah dengan si gadis muda fruity  itu!

Dari garis start yang bisa dikatakan minus inilah, petualangan Kumiko dimulai. Kumiko sulit mendapatkan pekerjaan kembali, yang juga mempersulitnya untuk mendapat kontrakan, karena di Jepang mengontrak rumah itu selain mahal, penyewa juga harus memiliki kredensial, memiliki pekerjaan tetap atau setidaknya memiliki seorang penjamin. Keduanya tidak dimiliki Kumiko yang pengangguran dan yatim piatu.

Kumiko memilih petualangan menjadi petani ketika ia tengah sendirian mengemasi barang-barang yang harus dibawanya pindah, entah ke mana, nanar memandang televisi yang kebetulan menyiarkan liputan tentang seorang perempuan gagah yang memilih berhenti berkarir dan mulai bertani. Profesi Petani adalah strategis bagi Jepang, setiap warga negara harus makan, dan swasembada pangan adalah sesuatu yang harus niscaya jika Jepang ingin tetap makmur. Perkembangan teknologi yang pesat menciptakan alat-alat pertanian yang ringan, murah, sehingga bisa dioperasikan seorang perempuan. Tidak hanya itu, Pemerintah juga menyediakan subsidi bagi calon petani baru, yang diharapkan menjadi solusi bagi masalah tanah-tanah tak tergarap di pedesaan-pedesaan Jepang yang ditinggalkan anak-anak muda yang memilih bekerja di kota-kota besar.

Kumiko pun terinspirasi untuk menjadi gadis petani, mulai melakukan pengumpulan informasi, dan karena tak ada pilihan lain, memutuskan untuk meng-eksekusi rencananya itu. Kisah Kumiko pun bergulir dari Februari yang dingin tahun itu, sampai ke bulan Mei yang hangat 2 tahun kemudian. 

Perjuangan selama 2 tahun membuat emosi pembaca ikut pasang surut mengikuti perputaran roda nasib Kumiko. Karena saya juga pernah bercita-cita menjadi seorang petani, saya sangat familiar dengan pemaparan yang detil tentang cara-cara mengolah tanah, merencanakan pola tanam, membidik pasar dan lain-lain. Perputaran roda nasib Kumiko melibatkan orang-orang yang telah dikenalnya dari masa lalu, misalnya teman-teman kuliahnya dengan berbagai macam kisah hidup mereka masing-masing. Juga teman-teman baru yang ia temui selama mengikuti program pendidikan calon petani. Bahkan "saingan-saingan" beratnya ketika ia mulai ikut perjodohan antar petani.

Ya, Kumiko yang menolak menikah itu bahkan nekat ikut perjodohan antar petani yang diatur Pemda. Bukan apa-apa, karena ternyata profesi sebagai petani bukan ecek-ecek. Profesi Petani harus dilakukan bersama sebagai usaha keluarga. Apalagi bagi petani baru yang mulai dari nol, tanpa memiliki tanah sendiri untuk digarap! Sayangnya bahkan Kumiko tidak berhasil juga dapat jodoh, frustrasi, membayangkan lebih baik mati saja di kuburan kedua orangtuanya jadi penggali kubur praktis tinggal memasukkannya bersama kedua orangtua yang disayanginya. Rasa kecewa Kumiko memuncak karena toh bersusah payah belajar sampai di perguruan tinggi tidak menjamin independensi seorang perempuan secara ekonomi, jelas-jelas lebih "aman" menjadi PNS atau istri PNS!

Perubahan sikap Kumiko menunjukkan bahwa untuk bertahan hidup, apa saja harus dicoba. Buang jauh-jauh pola pikir lama, dan jangan menolak nasihat dari orang lain. Perihal menolak nasihat dari orang lain inilah yang digambarkan jelas melalui pertemuan Kumiko dengan Ayano dan Fujie, dua orang wanita yang senior, sudah kenyang makan asam garam pengalaman hidup, yang satu feminis berkarir sepanjang hidup meskipun sudah menikah dan yang satunya konservatif mengikuti suami yang bertani sepanjang hidup. Penokohan Ayano dan Fujie digambarkan sangat bertolak belakang ini sangat menarik! Setajam apapun perbedaan mereka berdua, tujuan utama mereka adalah sama, membantu Kumiko dari berbagai kesulitan yang datang silih berganti.

Di akhir kisah, Kumiko berhasil membeli sebuah rumah tua dengan sedikit pinjaman dari Ayano, dekat dengan tanah garapan yang berhasil dia sewa berkat bantuan Fujie. Kumiko tidak perlu memaksakan diri menikah dengan laki-laki yang sudah mapan memiliki tanah pertanian keluarga turun-temurun, atau laki-laki dengan keluarga yang kaya raya seperti jalan hidup yang dipilih saingan-saingannya di perjodohan antar petani dulu.

Setiap perempuan berhak untuk bahagia, sesuai dengan jalan yang dipilihnya. Di akhir kisah, digambarkan Kumiko secara tidak sengaja menapaki kembali jalan-jalan yang dulu dilaluinya dengan rasa putus asa mencari rumah kontrakan di saat hujan deras mengguyur, melewati deretan rumah-rumah megah yang ditinggali ibu-ibu rumah tangga dengan suami mereka yang mapan. Tapi kalin ini Kumiko bukan hendak mencar rumah kontrakan, melainkan untuk melakukan pertemuan bisnis, dengan seorang chef restoran Italy yang menjadi pelanggan setia hasil ladangnya. Seorang chef yang muda dan gagah, yang digadang-gadang Ayano dan Fujie untuk menjadi pendamping hidupnya. 

Akhir kisah yang digambarkan mengambang tapi memberi sebersit harapan mengingatkan pada akhir kisah Gone with the Wind. Bahkan ilustrasi Kumiko yang berdiri menyamping sedemikian rupa memandang langit juga seperti adegan terakhir Scarlet O'Hara di ladangnya, bukan?

Comments

Tulisan Terpopuler

Flowers for Algernon by Daniel Keyes, Charlie si Jenius Dungu oleh Daniel Keyes

Antara Angelina Jolie dan Marie Kondo

Selesai sudah tugas membesarkan anak! 子育てはもう卒業します oleh Miu Kakiya