Bisakah Kita Berpisah Saja? oleh Miu Kakiya (2)
もう別れてもいいですか Judul : Bisakah kita berpisah saja? Penulis : Miu Kakiya Penerbit : Chuo Koron Shinsha Tahun terbit : 2024 Jumlah halaman: 297 ISBN : 978-4-12-207567-2 |
Sampai dengan selamat di rumah dari road trip 6 hari Nagano-Yamanashi, saya mendapat kabar dari perpustakaan bahwa buku yang saya pesan ini sudah dapat diambil. Tanpa menunda lagi saya langsung mengambilnya keesokan harinya.
Sebuah kisah yang berawal ketika Sumiko, seorang ibu rumah tangga berusia 58 tahun mendapat kabar teman seangkatannya di SMA baru saja menjanda karena suaminya meninggal dunia. Kabar yang tidak membuat Sumiko ikut berbelasungkawa, tapi justru merasa iri, karena setidaknya sang teman sudah terbebas dari kewajiban merawat suaminya.
Kabar itu menjadi topik pembicaraan Sumiko dengan teman-teman sesama ibu rumah tangganya. Ternyata bukan hanya Sumiko yang merasa iri, karena teman-temannya juga demikian. Mereka merasa senasib dengannya. Sejak menikah mendedikasikan hidup sebagai ibu untuk membesarkan anak-anak hingga mandiri dan meninggalkan rumah. Lalu akan dilanjutkan dengan berbakti merawat orangtua atau mertua hingga akhir hayatnya, dan terakhir melayani suami hingga suami pun meninggal dunia.
Lalu kapan Sumiko akan menikmati hidupnya sendiri? Beruntung sekali mereka yang lebih cepat ditinggalkan suami mereka untuk selama-lamanya, setidaknya sisa umur untuk dihabiskan dengan merdeka tanpa harus "berbakti" kepada orang lain lebih panjang, bukan?
"Eh tahu, gak? Misao bercerai, loh!"
Sayako, teman se-geng nya yang biang gosip membawa berita terbaru. Misao adalah sahabat Sumiko di SMA, yang kemudian putus berhubungan setelah Misao memilih melanjutkan kuliah ke ibukota, meninggalkan Sumiko yang hanya tamat SMA, bekerja di perusahaan daerah, menikah dengan laki-laki satu kota, kemudian mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga.
Sumiko bak katak dalam tempurung. Sejak lahir hingga di usianya yang 58 tahun sekarang tidak pernah meninggalkan kota kelahiran, tidak pernah merasakan hidup sendiri seperti Misao yang harus kos di ibukota, hidup sendiri dan mandiri. Bahkan setelah menikah pun hidup berkarir dan berkeluarga di ibukota.
Lalu tiba-tiba saja setelah 30 tahun, Misao bercerai dan pulang kampung?
Dari sinilah Sumiko mulai mendapat ide untuk bercerai dari suaminya. Tapi beranikah dia bercerai seperti Misao yang lulusan universitas dan seorang wanita karir?
Keraguan menderanya, sanggupkah dia hidup sendiri dan mandiri tanpa penghasilan suaminya? Cukupkah harta gono gini dengan suaminya nanti dijadikan bekal hidupnya di masa tua? Itupun jika dia mendapatkan harta gono gini itu, yang prosedurnya rumit bahkan tak sedikit harus diselesaikan di pengadilan! Harta bersama pun tidak seberapa, hanya sebuah rumah tua di kota kecil dan sedikit tabungan yang sudah jauh berkurang karena habis untuk membiayai kuliah 2 orang anak perempuannya dan digerogoti kebiasaan minum-minum suaminya.
Nah, seluruh novel ini berisi tentang tarik menarik hati Sumiko. Tumpukan beban sehari-harinya yang menyiksanya lahir bathin, tapi ketakberdayaan membuatnya tak sanggup memutuskan untuk bercarai dan memulai prosedur peceraian, yang bahkan hanya sangat mudah itu; cukup mengisi formulir perceraian di kantor pemda dan menandatanganinya bersama suaminya.
Beruntung salah satu teman se-geng nya yang lain, Chizuru, juga berpikiran untuk bercerai juga. Chizuru telah lama ingin bercerai dengan suaminya yang KDRT, tapi merasa tak sanggup kalau setelah bercerai harus menghadapi cibiran masyarakat. Chizuru adalah mantan atlet bola voli daerah, dan suaminya adalah seorang anggota dewan yang kharismatik dan selalu berjas Armani saat menghadiri event penting.
Berangkatlah mereka berdua ke rumah Misao. Sayang sekali, Misao ternyata sudah kembali ke Tokyo untuk memulai hidup barunya sebagai janda di kota itu. Melihat seorang ibu tua yang sama sekali tidak terlihat menyesali pilihan hidup anaknya, apalagi merasa perlu mendapat cibiran masyarakat karena anak gadisnya yang cemerlang ternyata bercerai di usia tua dan hidup menyendiri, Sumiko dan Chizuru menjadi percaya diri, bahwa perceraian adalah alternatif penyelesaian masalah hidup mereka. Ibu Misao pun memberikan alamat dan nomor kontak anaknya untuk dihubungi.
Berawal dari sharing pengalaman perceraian Misao inilah, Sumiko mulai mempersiapkan dirinya lahir bathin untuk bercerai. Sumiko perlahan-lahan mulai membiasakan diri untuk hidup sendiri. Dimulai dari pindah ke rumah ibunya dengan alasan untuk merawatnya. Sumiko yang merasa hidup berdua dengan suaminya telah menjadikannya seorang yang mudah sekali berbohong demi menghindari konflik dengan suaminya bersumpah, ini adalah kebohongannya yang terakhir!
Sedikit demi sedikit Sumiko mulai terbiasa mengurus dirinya sendiri, berkendara sendiri bahkan hingga ke luar kota, menggunakan transportasi publik untuk mengunjungi anaknya di Tokyo, bahkan mulai men-survey pengacara khusus yang ahli mengurus perceraian. Hingga akhirnya Sumiko mulai percaya diri untuk memulai proses perceraiannya.
Saat tinggal satu langkah lagi untuk bercerai, Sumiko mendapat berita besar.
Chizuru mendahuluinya bercerai!
Seperti biasa, Sayako si biang gosip yang mengabarinya. Sumiko merasa kecurian. Karena dalam perjalanan mengumpulkan informasi prosedur perceraian, Chizuru memilih berhenti dan pasrah saja. Tak sanggup bercerai dan membuat malu keluarganya dan keluarga suaminya.
"Chizuru ditendang sampai tulangnya retak, dan warga yang melaporkan kekerasan suaminya. Mau tidak mau perceraian harus terjadi untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi kau, sumiko, alasan apa yang valid untuk bercerai dari suamimu?"
Sayako menyerang Sumiko, yang terpancing menceritakan bahwa dia juga berniat untuk bercerai.
Mulai dari titik ini, sisa buku berisi deskripsi refleksi Sumiko atas seluruh kejadian dalam hidupnya, hidup orangtuanya, anak-anaknya, dan bahkan orang-orang di sekelilingnya yang mencerminkan ketimpangan dalam hubungan suami istri, dalam kedudukan laki-laki dan perempuan di Jepang, khususnya untuk generasinya yang lebih konservatif. Bahkan ketimpangan ini masih bisa dirasakan dalam kehidupan suami-istri anak perempuannya; seorang wanita karir yang masih harus memanggul beban urusan rumah tangga sendirian tanpa kontribusi suaminya sedikitpun.
Refleksi Sumiko ini terasa panjang, berat, bertele-tele dan seperti tak akan pernah berkesudahan!
Beberapa kali buku ini sempat saya tinggalkan. Entah disengaja atau tidak, buku ini ditulis begitu saja dari awal sampai akhir, tanpa jeda, tanpa dibagi ke dalam beberapa bab seperti selayaknya sebuah buku. Apalagi bahasa Jepang yang digunakan juga unik, walaupun deskripsi menggunakan bahasa Jepang baku, semua percakapan menggunakan dialek Kansai. Mungkin disesuaikan dengan stereotip seorang seperti Sumiko, tinggal di daerah, tak pernah mengenyam pendidikan tinggi (yang tentunya menggunakan bahasa Jepang baku), dan tak pernah menginjak ibukota.
Sumiko memang pada akhirnya mendapatkan semua yang dia inginkan. Dia dapat bercerai dari suaminya tanpa keributan, mendapatkan harta gono-gini tanpa harus ke pengadilan, mendapatkan rumah warisan dari ibunya tanpa keberatan dari adik dan adik iparnya, juga penerimaan teman-teman ibu-ibu rumah tangga se-geng nya itu.
Di akhir cerita, dalam suratnya kepada Misao di Tokyo, Sumiko menceritakan kehidupannya yang jauh lebih baik dan lebih berarti daripada ketika masih harus melayani suaminya. Bahkan Sumiko sesumbar,
Perceraian itu sebuah medali. Masalah buat lo?
Meskipun Sumiko memperlihatkan kebebasannya, saya tidak merasa ikut lega. Mungkin Sumiko akan memasukkan saya ke dalam golongan ibu-ibu rumah tangga "biasa" seperti teman-temannya yang tidak bercerai. Golongan ibu rumah tangga yang memaksakan diri untuk bersabar hingga akhir, dan menyia-nyiakan sisa hidup yang sangat singkat itu!
Saya pun tak akan menyanggahnya. Hanya saja saya sedikit menyayangkan. Mengapa tak ada seorang ibu rumah tangga-pun dalam kehidupan Sumiko yang memiliki seorang suami yang pengertian? Tak perlu seorang suami yang sempurna, dalam arti melakukan semua yang diinginkan istrinya untuk dilakukannya, atau mengatakan semua yang dinginkan istrinya untuk dikatakannya, tapi setidaknya seorang suami yang fair!
Seorang suami yang melakukan kesalahan, bahkan banyak kesalahan, tapi selalu meminta maaf dan setidaknya tak mengulangi kesalahan yang sama.
Mungkin seorang istri seperti saya bukan memaksakan diri untuk bersabar, tapi hanya ikhlas memaafkan.
Waaah aku takjub pas baca buku ini ditulis begitu aja tanpa bab dll 😅😅. Apa ga puyeng yaaa.
ReplyDeleteSayangnya krn bhs jepang, duuh pasti blm ada terjemahan kan ya..
Ceritanya menarik mba, dan sepertinya memang kehidupan khas warga di sana yaa. Penasaran kalo diterjemahin bakal seperti apa dibuat percakapannya
Puyeng banget, dan emang muter-muter pemikiran tokohnya.
DeleteYang diterjemahin prioritas yang mainstream, best seller dan gak Jepang banget kali ya, supaya lebih luas pasarnya.
Menurutku buku Miu Kakiya ini asli emak2 Jepang banget, ini jadi ketagihan bacain buku2 dia yang lain.