The Speed of The Dark-Elizabeth Moon (2003)

Lagi-lagi memori facebook memunculkan status lama saya tentang sebuah buku bertema autis.

The Speed of Dark oleh Elizabeth Moon (2003)




"I do not think I am autistic because God thought my parents needed a challenge or I needed a challenge".

Elizabeth Moon adalah ibu seorang anak dengan autis yang ( ketika buku ini ditulis) menginjak usia remaja. Novel ini disebut-sebut sebagai versi abad ke-21 dari novel klasik dengan tema sejenis, "Flowers for Algernon".

Silakan baca ulasan Flowers of Algernon

Kemiripan alur cerita dimana seorang laki-laki, Lou Arrendale (35 tahun), dihadapkan pada pilihan untuk menjalani operasi otak yang akan menghilangkan autisme dari dirinya.

Bedanya, karena ditulis oleh seorang ibu, tokoh Lou Arrendale begitu loveable, bahkan di bagian akhir buku yang menampilkan tanya jawab dengan penulis, Elizabeth Moon dikatakan "meromantisasi" autisme dalam novelnya.

Setting novel ini adalah masa depan ketika gen penyebab autisme telah diidentifikasi dan dapat dicegah sebelum bayi-bayi dilahirkan. Lou Arrendale dan teman-temannya adalah generasi terakhir manusia dengan autis dan masih produktif. Pendahulu mereka sudah lansia dan tinggal menjemput ajal di rumah-rumah jompo.

Lou Arrendale bersama rekan-rekannya yang juga autis, bekerja sebagai "pattern analyst" bioinformatika di sebuah lembaga peneliti bidang farmasi. Lou Arrendale adalah seorang jenius, seorang pekerja keras, dan penyuka olahraga anggar yang mulai mengikuti turnamen anggar amatir. Lou Arrendale adalah laki-laki yang sopan, lurus dan mematuhi peraturan, hanya saja ia tidak dapat berkomunikasi secara luwes dengan orang-orang di sekitarnya.

Di masa ini, semua perilaku manusia sudah dapat dikendalikan melalui intervensi otak. Tidak hanya autisme, pelaku tindakan kriminal pun tidak lagi diadili dan dipenjarakan, melainkan "hanya" menjalani implantasi sebuah chip di otaknya, yang akan mencegahnya melakukan kejahatan di masa yang akan datang.

Uniknya, kecanggihan di bidang intervensi otak manusia adalah satu-satunya fenomena yang berubah dalam setting novel ini. Hal-hal lain, seperti sistem transportasi, aturan ketenagakerjaan, perpajakan dan sistem support bagi penyandang autis tetap sama dengan hari ini (ceteris paribus).

Begitu pula dengan "ketidakpedulian" lingkungan sekitar terhadap penyandang autis. Ketidakpedulian inilah yang dimetaforakan menjadi "kegelapan", yang memiliki kecepatan lebih tinggi dibanding "cahaya", yang menjelmakan "kepedulian".

Setting yang unik inilah yang menjadikan novel ini menarik. Pembaca terus bertanya-tanya, bagaimana nasib Lou dan teman-temannya jika mereka menolak operasi otak? bagaimana jika mereka setuju untuk operasi otak? apakah yang terjadi setelah Lou mengalami operasi otak dan kehilangan autismenya?

Lou, dengan kesadaran sendiri, memilih untuk berpartisipasi menjalani operasi otak tersebut. Meskipun teman-temannya, baik yang autis maupun yang normal, menyayangkannya. Lou tidak memiliki "perilaku aneh", tidak mengganggu orang lain, tidak membebani orang lain karena dapat hidup mandiri secara finansial, bahkan memberi kesenangan bagi teman-temannya. Mengapa?

Bahkan Lou sendiri merasa takut akan kehilangan autismenya. Sehari sebelum menjalani operasi, Lou menghabiskan harinya di sebuah taman dengan air terjun. Alam Raya tidak pernah membeda-bedakan manusia. Alam menyediakan tempat yang terbaik untuk tumbuh bagi setiap mahkluk, tanpa memilah-milah, normal ataupun tidak normal. Lou membebaskan autisme-nya hari itu, dengan menjilati setiap lumut dan pucuk-pucuk pakis, mengecap pepohonan, bebatuan dan apa saja yang ada di sekelilingnya dengan sepuasnya!

Setelah menjalani operasi otak, barulah pembaca dibukakan pada kenyataan baru. Lou hanya ingin menjadi orang yang bisa bertanya, bukan hanya orang yang selalu harus bersusah payah mencari jawaban yang patut ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan. Lou hanya ingin memahami "petunjuk" non verbal yang selama ini luput darinya ketika berbicara dengan seorang gadis idamannya, Marjory. Ingin peka terhadap perasaannya sendiri dan menyesuaikannya dengan perasaan Marjory.

Sayang, operasi otak yang dijalaninya tidak mendekatkannya pada Marjory. Lou bahkan kehilangan perasaan istimewanya terhadap Marjory. Tapi operasi itu membantunya menemukan mimpi masa kecilnya yang tidak dapat terwujud karena hambatan autisme; menjadi seorang astronot yang mengunjungi bintang-bintang di antariksa. Lou, tanpa autisme, tidak lagi harus terbata-bata menjawab pertanyaan terapisnya, dan berganti menjadi orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan besar, yang jawabannya membuka cakrawala alam semesta yang sangat luas dan tak terbatas.

“Having to struggle (because of Autism) gave me the chance to demonstrate strength of character.”


 


Comments

  1. Omg, menariiiik mbaaa. Jd penasaran dengan ceritanya 😍😍😍. Autisme ini sepintas terlihat normal yaa.. Keponakan ku juga ada yg autis. Tp untung orangtua nya sigap dan langsung membawa ke dokter ahli.

    Menarik pas tahu alur ceritanya membuat kelainan ini bisa dioperasi agar sembuh. Jd penasaran dengan apa yg dirasakan Lou saat masih autis dan ketika sudah sembuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, karena autis itu spektrum ya, dari yang paling parah sampai yang paling ringan. Selama memiliki karakter khas autisme, biasanya dokter kasih hasil diagnosis autis. Kesigapan orangtua memeriksakan itu penting banget! Kalau kita cepet tau kita bisa cepet belajar, cepat menerima anak apa adanya dan siap mendampinginya. Bersyukur sekarang banyak support ya untuk anak autis dan orangtuanya. Salam buat keponakan dan kedua orangtuanya yaa.

      Iya....seingatku, setelah sembuh jadi garing hihihi. Jadi sama saja dengan manusia kebanyakan. Tapi mungkin jadi bisa lebih berkomunikasi ya.....

      Delete

Post a Comment

Tulisan Terpopuler

Antara Angelina Jolie dan Marie Kondo

Selesai sudah tugas membesarkan anak! 子育てはもう卒ζ₯­γ—ます oleh Miu Kakiya

Submission oleh Michel Houellebecq