さみしい夜にはペンを持て Jika Malam Panjangmu Sunyi, Raihlah Penamu oleh 古賀史健 Fumitake Koga
Judul : さみしい夜にはペンを持て Jika malam panjangmu sunyi, raihlah penamu Penulis : 古賀史健 Halaman : 289 halaman Penerbit : Popular Terbit : Tahun 2023 ISBN : 978-4-591-17854-6 |
Kalau anda pembaca buku best seller Jepang, pasti sudah tidak asing lagi dengan nama Fumitake Koga, bukan? Ya, Fumitake Koga penulis buku laris "Berani Tidak Disukai" yang juga terbit di Indonesia, diterjemahkan oleh Agnes Cynthia. Saya sendiri baru tahu kalau penulis kedua buku ini sama, setelah buku ini dibawa pulang!
Ceritanya saya janjian pergi bareng ibu-ibu pengajian, tapi kecepetan datang di stasiun. Jadilah saya melipir ke toko buku yang sudah buka pagi sekali. Melihat buku dengan sampul menarik, apalagi sempat membaca sekitar 20 menitan dan cocok dengan isinya, saya langsung jatuh cinta.
Sampai di rumah saya baru tahu kalau penulis buku ini adalah penulis buku Berani Tidak Disukai, yang sering sekali saya lihat iklannya di flyer yang menghiasi kereta commuter yang biasa saya naiki. Saya sendiri belum pernah membaca buku itu, bahkan nama pengarangnya saja tidak terbaca karena huruf kanji-nya susah. Ditambah, saya ini sok anti mainstream, jadi semakin sebuah buku diworo-woro best seller saya semakin menghindarinya.
Ternyata meskipun buku ini adalah sebuah buku how to tentang tips menulis, cara membawakannya sungguh berbeda.
Dimulai dari pelukisan tokoh seorang anak laki-laki bernama Takojiro, alias Gurita, murid kelas 3 SMP Dalam Laut. Anak gurita ini kerap di-bully dipanggil si "Gurita Rebus", karena keburu merah padam wajahnya sebelum dapat mengucapkan isi hati lewat kata-kata dari bibirnya.
Kegalauan Takojiro mencapai puncaknya ketika teman-teman sekelasnya "menjebak" nya hingga ketempuhan mendapat tugas membaca "ikrar atlet" di acara festival olahraga sekolah. Terbayang dong, ketakutan Takojiro ditertawai seluruh sekolah ketika naik podium dan seluruh tubuhnya keburu merah padam sebelum membacakan ikrar penting itu!
Saking galaunya, Takojiro bolos sekolah dan berkeliaran di taman kota, tempat kemudian dia bertemu Pak Yadokari; siput bijaksana yang mengajarinya tentang pentingnya menulis catatan harian untuk mengurai pikiran kusut di kepala, menjadi kata-kata yang diungkapkan melalui sebuah tulisan.
Nah, tips menulis yang merupakan tema utama buku ini diuraikan dalam bentuk percakapan Takojiro dan Pak Siput Yadokari ini. Tentu saja dengan latar belakang kehidupan mereka di dalam laut. Kelihaian penulis memadukan suasana laut menjadi suasana kehidupan sehari-hari anak SMP dan segala permasalahannya sangat pas sekali.
Bahkan ada satu adegan saat Pak Yadokari memberikan contoh sebuah tulisan yang katanya terkenal di dunia laut, wagahai ha uni de aru, yang merupakan pelesetan dari novel klasik terkenal di Jepang, wagahai ha neko de aru karangan Natsume Soseki. Bukan hanya neko yang artinya kucing yang dipelesetkan menjadi uni yang artinya bulu babi laut, tapi keseluruhan paragaraf pembuka novel yang terkenal itu dituliskan kembali sesuai dengan konteks cerita dengan latar belakang dunia di dalam laut.
Satu lagi yang patut diceritakan adalah pemilihan tokoh Takojiro dan Yadokari yang tepat untuk menggambarkan tempo argumentasi tentang pentingnya menulis dan konsisten untuk menulis catatan harian. Karena dialog adalah antara seorang dewasa sebagai seorang senior kehidupan kepada seorang anak kelas 3 SMP yang diibaratkan sedang mengalami transisi dari masa remaja ke masa dewasa, maka temponya juga lambat tapi tidak lelet, melainkan perlahan dan runut.
Contohnya, pentingnya menulis berawal dari pikiran yang tak dapat dicurahkan dalam kata-kata, sejatinya memang karena kata-kata itu tidak dapat diucapkan, tapi hanya bisa dituliskan. Ide atau pemikiran tidak selalu dengan mudah dijadikan untaian kata-kata. Juga ketika pemikiran dituangkan dalam bentuk percakapan dengan orang lain, akan berbeda dengan ketika pemikiran dituangkan secara monolog dalam sebuah tulisan. Saat kita bercakap-cakap, ucapan yang kita sampaikan hanya berupa jawaban terhadap pertanyaan dari teman kita bercakap-cakap. Lain halnya dengan tulisan, yang tidak dirangkai untuk menjawab pertanyaan siapapun, melainkan murni sebagai buah pemikiran penulisnya.
Tips menulis baru kemudian diuraikan satu persatu, tetap dalam bentuk dialog yang rapi, dan mencakup tema yang luas. Tidak hanya soal teknis, tapi juga soal yang khusus membahas bagian inner writing yang sebenarnya adalah sebuah pandangan psikologis atas seorang penulis dan proses penulisan.
Beberapa tips yang terasa harus saya bocorkan dari buku ini adalah, tips untuk menulis catatan harian tentang perasaan penulis. Perasaan itu bukan tentang perasaan ketika sedang menulis, tapi tentang perasaan ketika mengalami sesuatu, sehingga bentuknya reflektif; sebuah renungan. Juga tentang pentingnya menulis apa saja yang ada di sekitar kita saat itu, juga tentang kondisinya, atau jika ada orang lain yang terlibat, maka perlu juga menuliskan apa yang kita lihat dan rasakan dari interaksi yang terjadi. Tak kalah penting adalah, menuliskannya dengan detil dan perlahan, seperti dalam gerakan slow motion. Untuk bisa menulis dengan detil diperlukan kosakata yang kaya, sehigga sesuatu atau suatu kejadian bisa digambarkan dengan tepat. Perumpamaan yang dipakai disini adalah seprti menggambar skestsa dengan garis-garis halus lebih sempurna ketimbang menggambar dengan garis kasar. Pilihan kata yang digunakan diibaratkan memilih warna dalam menggambar, meskipun sekilas artinya sama, tapi setiap kata mempunyai nuansa yang berbeda.
Nah, kemampuan untuk membuat sketsa dengan garis halus dengan berbagai macam warna itulah yang benar-benar diperlukan seorang penulis. Tips untuk mengasah kemampuan ini adalah temuan terbesar yang saya ambil dari buku ini. Beberapa sedang saya usahakan untuk mencobanya. Salah satunya adalah banyak membaca buku dengan cara mendengar buku itu dibacakan orang lain, lalu mencoba membacanya lagi sendiri dengan nyaring. Dengan begitu, saya dapat menambah kosa kata baru tidak hanya dengan mendengar (dan kemudian lupa) tapi juga dengan menggunakannya, minimal dengan mengucapkannya.
Terakhir, membeli buku secara impulsif di toko buku adalah pengalaman yang sudah lama tidak saya rasakan. Maklum, saya sudah berikrar tidak lagi membeli buku baru secara fisik, demi prinsip minimalis. Tapi ternyata kontak dengan kasir toko buku adalah sebuah hal indah yang saya rindukan.
Jika anda membeli buku di toko buku di Jepang, pasti kasir akan bertanya apakah anda ingin buku baru anda disampul. Jika ya, mereka akan menyampulnya untuk anda. Coba perhatikan kecepatan mereka menyampulnya, pasti setara dengan kecepatan jemari anda meraih uang atau kartu kredit dari dompet dan menaruhnya di baki kasir. Kasir toko buku ini sempat berhenti melipat sampul sekian detik ketika saya perlu waktu ekstra karena keukeuh mengais uang receh dari dompet demi membayar dengan uang pas.
Human touch is the greatest service for your costumers' satisfaction.
Duuuuh mbaaaa, pengen banget beli bukunya kalo ada terjemahan yg ini. Uniiik sih krn ditulis dalam bentuk percakapan. Dan itu jd kayak story telling yaaa. Apalagi tokohnya ga biasa 😄😄👍.
ReplyDeleteBuku yg BErani Tidak Disukai aku juga belum baca sih. Udah lama ga ke toko buku. Akhir2 ini aku lebih suka beli buku di toko buku bekas drpd yg baru. Selain lebih murah, banyak buku2 lama yg lbh sesuai dengan genreku.
Tapi kalo ada review buku baru yg bagus kayak dari penulis Jepang ini, dan ada terjemahan mau banget aku cari 😍
Kereen ih di sana sekalian disampulin bukunya. Aku tipe yg malas menyampul buku 🤣. Ga terlalu rapi soalnya. Apalagi kalo buku tebel. Mana kebanyakan buku ku tebel semua 😅
Iya buku bagus ini. Tapi gak yakin bakal segera diterjemahkan karena genre-nya bukan genre laris manis. Plus, background budaya Jepangnya kental banget.
DeleteBuku lama itu aku banget. Banyak baca buku lama gratisan download pdf sekarang.
Mungkin karena bukan hardcover jadi disampulin. Kalo ke Jepang, coba deh beli buku di Jepang dan mengalami sensasi disampulin buku sama kasirnya.