100 Halaman Ketiga The Muqaddimah - Intermezzo
Buku adalah jendela dunia. Membaca The Muqaddimah (versi abbridged), saya berharap dapat melongok keluar jendela untuk melihat dunia di abad pertengahan, abad kegelapan, sekaligus abad kejayaan Islam.
Sayangnya, menginjak seratus halaman ketiga, saya merasa semakin sulit untuk memahami buku ini. The Muqaddimah adalah seperti sebuah jendela yang diposisikan berada di sebuah dinding yang tinggi, yang memberikan cahaya, tapi jika saya hendak melongok keluar dari jendela itu, saya memerlukan pijakan-pijakan bahkan sebuah tangga berupa pengetahuan tentang sejarah Arab (dhi. negara-negara yang menggunakan Bahasa Arab), peta dunia Arab sebelum terpecah-pecah menjadi negara-negara seperti sekarang, dan tentu saja Bahasa Arab termasuk buku-buku yang menjadi dasar pemikiran Ibnu Khaldun di masa itu.
Sementara saya mengumpulkan pijakan-pijakan itu, saya menemukan beberapa hal menarik tentang pandangan Ibnu Khaldun yang meciptakan "perasaan terhubung" dengan peradaban di masa itu;
1. Ibnu Khaldun tentang Mihrab dan Mimbar (hal.222-223)
Seorang Khalifah, sebagai kepala negara, juga sebagai imam shalat. Khalifah sebagai imam, berdiri terdepan, sendiri membelakangi makmumnya yang berdiri berbaris-baris di belakangnya. Adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang membuat mihrab, yaitu sebuah cerukan sempit di dalam masjid, yang melindungi imam shalat dari depan, kiri, dan kananya. Sebuah keputusan yang diambil setelah kejadian penusukannya ketika sedang mengimami shalat.
Seorang khalifah juga menyampaikan khutbah, dengan mengambil posisi berdiri menghadap makmumnya. Adalah Amar bin Al As yang pertama kali berkhutbah menggunakan mimbar di sebuah masjid di Mesir. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menyuratinya, "Aku mendengar kau menggunaan mimbar dan meninggikan dirimu di atas leher-leher orang islam. Tidak cukupkah engkau berdiri di hadapan saudaramu yang sudah duduk di depan kakimu? aku perintahkan kau hancurkan mimbarmu hingga berkeping-keping".
Setelah khalifah-khalifah hanya menjadi raja dan sultan, mereka bahkan mewakilkan tugasnya sebagai imam dan khatib kepada orang lain, bahkan menciptakan budaya para khatib yang mendoakannya pertama kali setelah takbir dan shalawat!
2. Ibnu Khaldun tentang LGBT (hal. 288)
Kerusakan kebudayaan sedentari dimulai dari kesenangan dan kemewahan. Kecintaan akan kesenangan badaniah; makan minum dan kegiatan seksual dalam kemewahan menaikkan diversifikasi/keberagaman cara pemenuhannya. Makanan dan minuman menjadi semakin beragam dan dibuat dengan resep yang semakin rumit, begitu pula kegiatan seksual yang kemudian beragam menjadikan perzinahan dan homoseksualitas berkembang luas.
Perzinahan dan Homoseksualitas membawa ancaman bagi spesis manusia itu sendiri. Perzinahan merancukan garis keturunan, melemahkan hubungan dalam keluarga (khususnya hubungan paternal), dan menciptakan risiko lahirnya manusia yang tersakiti jiwanya karena kerancuan (bahkan penolakan) asal usulnya secara paternal. Homoseksualitas bahkan mengancam kepunahan spesis manusia, karena mengurangi jumlah kelahiran manusia (di masa Ibnu Khaldun belum ada penyewaan rahim (surrogate mothers) maupun bank sperma).
3. Ibnu Khaldun tentang Perpindahan Ibu Kota (hal. 290-291)
Suatu bangsa memerlukan sebuah rumah, sebuah kota utama tempat peradabannya tumbuh dan berkembang. Sebuah dinasti yang berhasil menumbangkan dinasti sebelumnya, biasanya kemudian memindahkan ibukota negara ketika mereka ingin melanggengkan kekuasaannya. Ini terjadi ketika dinasti Umayyah memindahkan ibukota dari Madinah ke Damaskus, Syiria (661M), lalu dinasti Abbasiah memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad, Irak (750 M), lalu kesultanan Seljuk memindahkan ibukota ke Isfahan (dijuluki Kota setengah dunia), Iran (1598M).
Untuk melemahkan dukungan terhadap pemerintahan yang lama, perpindahan ibukota dilakukan untuk disintegrasi peradaban dari ibukota sebelumnya. Dinasti yang baru akan mengisi ibukota yang baru oleh militer, pendukungnya (partisan), tahanan (lawan politik yang ia kuasai), dan tamu-tamu agung yang dimuliakannya. Dinasti yang baru pun dapat dengan leluasa menggunaan seluruh sumber daya yang ada untuk membentuk peradaban baru sesuai dengan visinya tanpa perlawanan berarti. Ibukota lama yang ditinggalkan hanya berisi sisa pendukung dinasti lama dengan para petani, pedagang, dan rakyat jelata yang kemudian akan semakin lemah dan hilang dari peradaban.
4. Ibnu Khaldun tentang Pembantu Rumah Tangga (hal.300-302)
Pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga adalah tidak alamiah. Pekerjaan ini tercipta karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh mereka yang dimanjakan oleh kemewahan. Mereka kemudian membayar orang lain untuk mengurus keperluan pribadinya, yang sebenarnya merupakan kewajibannya sendiri, tapi ia terlalu lemah untuk mengerjakannya.
Ibnu Khaldun lalu membahas dua tipe pembatu rumah tangga; 1) yang terampil tapi tidak dapat dipercaya atau tidak terampil tapi jujur (tentu saja yang ideal adalah yang terampil dan jujur, tapi menurut Ibnu Khaldun sangat sulit, bahkan mustahil), 2) yang tidak terampil dan juga tidak jujur. Secara tidak langsung, Ibnu Khaldun menujukkan sebuah "risiko" mempekerjakan pembantu rumah tangga, yaitu memasukkan orang lain yang bisa saja tidak jujur, atau tidak terampil, atau bahkan tidak terampil dan tidak jujur ke dalam rumah tangga kita.
Comments
Post a Comment