100 Halaman Pertama The Muqaddimah, oleh Ibnu Khaldun
Buku ini ditulis tahun 1377, masih jaman episiklis temuan Ptolemy (heliosentris baru terbuka tahun 1546 setelah Copernicus wafat). Tidak ada hal yang dianggap terlalu remeh untuk dibahas, perbandingan astronomi dengan astrologi, kenabian dengan sihir, tafsir mimpi, wangsit, maupun wahyu, bahkan perbedaan antara gila dan dungu.
Kebudayaan nomaden arab baduy yang berpindah tempat, membatasi kepemilikan hanya pada kebutuhan, meninggalkan kenyamanan, boro-boro kemewahan lebih alamiah bagi manusia ketimbang kebudayaan sedentary yang menetap di suatu tempat, mengumbar keinginan, memuja kebendaan, jatuh kepada kemalasan, dan kelemahan.
Suku-suku nomaden menjunjung tinggi ikatan darah, warisan keluhuran budi, menjaga harkat dan martabat nenek moyang. Oleh karenanya, mereka membawa nama-nama leluhur mereka dalam nama2 mereka.
Sementara mereka-mereka yang hidup menetap, memilih mengaitkan statusnya pada kota tempat tinggal, koneksi kepada kekuasaan, dan meninggalkan nilai warisan leluhur. Mereka tidak punya kebanggaan atas leluhur dan mengaitkan nama mereka dengan kota tempat tinggal mereka.
Baik budaya nomaden maupun sedentary memiliki konflik dan kriminalitas, tapi skalanya jauh berbeda. Konflik suku nomaden hanya seputar hal paling mendasar dalam kehidupan manusia, sementara konflik sedentary sangat rumit dan berlapis.
Dalam pembahasannya, penulis menyisipkan puja-puji kepada penciptanya, memohon ampun atas kemungkinan kelalaian dalam perumusan teorinya, merendahkan diri dan menyanjung hanya Allah lah yang mewarisi segala ilmu, dan memohon petunjuk dalam menggali ilmu pengetahuan.
Sebagai manusia yang seumur-umur membaca buku teks pelajaran sekuler yang kering, The Muqaddimah terasa menyejukkan dan menyadarkan, betapa sedikit yang kita tahu. Tiba-tiba ingin hidup semasa dengan penulis, science menurut penulis adalah sebuah kemewahan, bukan kebutuhan mendasar bagi manusia. Kadang tahu lebih banyak tidak menjadikan manusia lebih manusiawi.
Comments
Post a Comment