Monday, December 9, 2019

100 Halaman Kedua The Muqaddimah, oleh Ibnu Khaldun

Sifat alamiah suku-suku nomaden yang membatasi pada kebutuhan hidup yang paling mendasar, berpindah tempat sesuai dengan kebutuhannya, menghidupi dan melindungi keluarga dan kelompoknya secara mandiri, menjadikan mereka sebagai antithesis dari peradaban yang kita kenal pada hari ini. Mereka tidak menetap di sebuah desa/kota bahkan negara (stateless). Mereka mencukupi dirinya sendiri, sehingga mereka tidak perlu membayar pajak untuk kesejahteraan hidup maupun perlindungan yang diselenggarakan oleh sebuah pemerintahan dan militer negara. Satu-satunya yang mereka andalkan adalah, assabiyah (group feeling), solidaritas dengan sesama anggota kelompoknya.

Di sisi lain, suku-suku nomaden bersifat liar (savage) dan tidak tunduk pada hukum. Mereka tidak menghormati hak kepemilikikan bahkan hak hidup oranglain, dan menimbulkan konflik dengan suku-suku sedentary yang menetap dan tunduk pada hukum sebuah negara. Satu-satunya pengendali yang dapat menundukkan sifat liarnya adalah ajaran agama. Ajaran agama yang tidak disampaikan melalui perintah atau larangan, maupun melalui pendidikan yang terinstitusi. Islam yang dibawa (dan disampaikan dengan metode) Rasulullah SAW lah yang pertama kali menyatukan hati-hati mereka hingga mereka kemudian membentuk suatu peradaban baru dengan nilai-nilai yang sama sekali berbeda dengan nilai-nilai peradaban suku sedentary yang telah lebih dulu ada; bersifat mapan dalam bentuk kerajaan dan kebangsawanan. Peradaban baru inilah yang disebut Kekhalifahan (disebut Caliphate oleh orang-orang Eropa).

Sebuah pemerintahan mapan berbentuk kerajaan dan kebangsawanan juga memiliki assabiyah, hanya saja mereka berbasis kekuasaan, suksesi, dan pembagian kewenangan. Seorang khalifah, adalah seorang manusia yang menjadi wakil seorang nabi. Penunjukkan Khalifah Pertama di dunia, berawal penugasananya mewakili Rasulullah untuk mengimami shalat. Kekuasaan secara politik, militer, dan kemudian administratif, baru disepakati kemudian dengan pemikiran bahwa, orang yang dipercayakan untuk memimpin urusan akhirat pasti layak untuk dipercayakan urusan keduniawian. Begitu juga Khalifah Kedua di dunia, ia bergelar pemimpin orang-orang yang beriman, Commander of the Faithful. 

Khalifah-khalifah di masa awal islam, adalah orang-orang yang buta huruf dan berpegang teguh pada kekuatan budaya lisan; perkataan yang benar dan fasih. Mereka terbiasa menghadirkan saksi yang menguji kebenaran perkataan mereka, dan tidak menggunakan sekertaris ataupun juru bicara untuk menyelenggarakan suatu pembicaraan. Para saksi ini menyediakan sebuah "peer review" untuk mengatestasi kebenaran/kesahihan ucapan seseorang; sebuah metode yang terus berlaku hingga saat ini di dunia keilmuwan. Selain melakukan seluruh tugas kekalifahan, mereka juga melakukan tugas seorang hakim, bahkan tugas menerima aspirasi dan petisi langsung, tanpa perwakilan, dari orang-orang yang dipimpinnya. 

Saat menulis The Muqaddimah, Ibnu Khaldun sudah mendapati kekhalifahan meninggalkan nilai-nilai agama dan hanya memiliki assabiyah saja, bergelimang kemewahan dan hasrat kebendaan, sehigga mereka hanya layaknya raja-raja dari suku-suku sedentary, hanya saja mereka bergelar Amir atau Sultan. Mereka mempekerjakan wazir/menteri yang khusus mengurus "pedang" atau "pena" atau "keuangan", juga hakim-hakim dan pengawas perdagangan, bahkan hajib/penjaga pintu yang memilih dan memilah siapa yang layak mereka temui langsung secara tatap muka.  

Layaknya kerajaan dan kebangsawanan yang telah lebih dulu ada sebelum islam datang, kesultanan kemudian melahirkan dinasti-dinasti yang saling menumpas dan menundukkan satu sama lain. Sebuah dinasti berdasarkan garis keturunan hanya dapat bertahan hingga 4 generasi; Pembangun, Pengikut, Pemegang teguh tradisi, dan Perusak. 

No comments:

Post a Comment