Didodoho Lahar; Lalakon Galunggung Bitu oleh Adjat Sudradjat

Gambar diambil dari Penerbit Kiblat Utama

Lagi, sebuah buku berbahasa Sunda. Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, buku ini berjudul, Dalam Intaian Lahar: Kisah Meletusnya Galunggung disini. Buku ini berkaitan langsung dengan saya, bukan apa-apa, saya adalah kelahiran Tasik dan mengalami peristiwa Gunung Galunggung meletus pada tanggal 4 April 1982. Sama seperti sang penulis, Prof. Dr. Ir. H Adjat Sudradjat, M.sc. Penulis adalah ahli Geologi dan ahli Vulkanologi, saat membaca profil penulis dan pendahuluan buku ini, saya mendapat gambaran kalau buku ini adalah buku tentang Vulkanologi dalam bahasa Sunda, yang dibungkus sedemikian rupa sebagai novel dengan penutur seorang Guru Desa, Jang Guru.

Lucunya, tokoh Nyai yang menjadi "bumbu" utama dalam buku ini, tadinya saya pikir adalah anak perempuan Jang Guru yang hilang dalam pengungsian. Maklum, saat saya mengungsi usia saya baru 5 tahun. Saya mengingat betul 24 jam sebelum dan sesudah gunung Galunggung meletus; malam itu saya sulit tidur, sampai saya pindah dari kamar dan tidur di bale-bale di tengah rumah, lalu saya dibangunkan ibu saya, dipakaikan caping, membawa beberapa potong pakaian dan membantu kakak saya menenteng radio, lalu berbaris menuju pengungsian sambil sesekali melihat ke belakang; ke mulut galunggung yang berguncang dan menyemburkan batu berapi, makan siang di pengungsian yang saya muntahkan kembali, juga ketika kami nekat menumpang truk tentara yang membawa kami ke tanah kelahiran ibu saya di Ciamis. Setiba di Ciamis saya langsung main ke sawah dan ke balong, lupa kalau saya sedang mengungsi, bukan sedang mengunjungi rumah Nini!

Ternyata Nyai dalam buku ini bukan anak kecil seperti saya, melainkan seorang kembang desa, putri Juragan kayu terkaya sedesa, dan tengah dijodohkan dengan putra partner bisnis sang Ayah yang berasal dari Kota Bandung. Nyai yang hilang di pengungsian sebenarnya sedang membebaskan diri, karena disaat kepanikan melanda, justru dia dapat menemukan jalan keluar rumah, lari dari kerangkeng sang Ayah, lari dari lilitan perjodohan yang tidak dia inginkan, bahkan mendapat bantuan dari sang ibu dan seorang pemuda gagah dari desa sebelah!

Saya tidak mengharapkan kisah percintaan yang seru, dan sangat puas dengan deskripsi buku ini mengenai hal ihwal gunung berapi, tidak hanya Galunggung, melainkan gunung-gunung berapi di tataran Sunda, bahkan gunung-gunung berapi di dunia, termasuk Vesuvius, gunung berapi di Italy yang terkenal ke seluruh dunia. Gunung-gunung diceritakan sejak dari pengelompokkannya, cara terbentuknya, cara meletusnya, dan apa manfaat dari letusannya. Semuanya dengan apik ditampilkan berbarengan dengan aliran cerita tentang Nyai. Meskipun beberapa bagian sering terasa berulang, tapi sepertinya pengulangan diperlukan, supaya pembaca tidak justru lebih mengingat kisah pelarian Nyai dan kekasihnya dibanding istilah-istilah vulkanologi yang penting!

Membaca buku vulkanologi dalam bahasa Sunda, menyadarkan saya bahwa sebenarnya kosakata bahasa Sunda cukup leluasa digunakan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Selain buku ini saya juga tengah membaca buku ilmiah berbahasa sunda tentang sejarah dan kebudayaan Sunda, dan saya tak merasakan kecanggungan sedikitpun. Ternyata dalam membahas vulkanologi pun tidak ada ganjalan yang berarti. Rasanya eksotis membaca kisah Minos dan Minotaur di salah satu bab, lalu Sangkuriang dan Dayang Sumbi di bab lainnya, dalam bahasa Sunda! Begitu juga saat penulis mengutip berbagai teori dari jaman Plato hingga ke temuan sarjana-sarjana asing, semuanya dalam bahasa Sunda.



Temuan menarik dari buku ini, saya baru tau asal mula kata Sunda, yang ternyata berasal dari kata "Cuddha" dalam bahasa sansakerta, yang artinya "putih" atau "bersih". Yaitu kondisi tataran Sunda hari ini setelah meletusnya sebuah gunung besar, yang kemudian disebut Gunung Sunda, yang menyelimuti wilayah sekitarnya dengan abu berwarna putih (karena banyak mengandung silica), bahkan konon hingga ketebalan 40 meter! Gunung Sunda meletus dan menghancurkan dirinya sendiri, lalu melahirkan sebuah anak gunung, yang kini disebut Gunung Tangkuban Parahu.

Letusan Gunung Galunggung di tahun 1982 tidak tergolong besar, karena kaldera gunung galunggung tersumbat anak gunung yang disebut Gunung Jadi. Letusan kecil-kecil terus terjadi sepanjang tahun, yang lalu menjadi bahan candaan, bahwa Galunggung meletusnya dikiridit (dikredit/dicicil), menggambarkan "profesi" kebanyakan orang Tasik di kota-kota, menjadi Tukang Kiridit! bahkan TASIK dikatakan singkatan dari Tempat Asal Sistem Kiridit (Kredit)!

Lalu bagaimana akhir kisah Nyai? kisah Nyai dan si pemuda gagah menjadi klimaks buku ini. Dalam guyuran hujan deras, sang Ayah menolak mentah-mentah permintaan si pemuda gagah, amarah dan emosinya memuncak memicu serangan jantung yang mengantarkannya pada kematian. Lalu dalam sekejap banjir lahar menggilas mereka, sementara Jang Guru, Nyai dan ibunya terselamatkan, si pemuda gagah tergerus lahar dan hilang entah kemana! Ternyata Nyai tidak berjodoh dengan si pemuda gagah dari desa sebelah, melainkan dengan seorang insinyur vulkanologi yang kebetulan ditempatkan untuk mengawasi Gunung Galunggung. Seorang insinyur yang tampan, gagah, ramah, dan seorang lulusan universitas Jepang!!

Comments

Tulisan Terpopuler

Antara Angelina Jolie dan Marie Kondo

Selesai sudah tugas membesarkan anak! 子育てはもう卒業します oleh Miu Kakiya

Submission oleh Michel Houellebecq