Bersama-sama Membesarkan Anak 手をつなぐ子育て oleh Katsuyuki Hiroki (2)
Bagian 2: Anak Putus Sekolah
Menurut definisi kementerian pendidikan Jepang tahun 2003, seorang anak (usia wajib belajar 6-15 tahun) disebut Putus Sekolah atau futoukou 不登校, jika absen dari sekolah selama total 30 hari dalam 1 tahun, di luar alasan sakit atau alasan ekonomi. Dalam kelompok anak putus sekolah ini, penulis menitikberatkan pembahasan pada anak-anak yang sebenarnya ingin pergi ke sekolah tapi tubuhnya "menolak", misalnya tiba-tiba sakit kepala, sakit perut, atau bahkan tidak memiliki tenaga sama sekali. Suatu kondisi fisik yang timbul karena masalah psikologi yang dialami anak-anak/remaja karena kondisi di sekolah, secara khusus disebut toukoukyohi 登校拒否.
Seiring dengan tren bertambahnya angka anak-anak putus sekolah, terutama masalah toukoukyohi karena faktor psikologis ini, pihak pemerintah pun mengupayakan penyelesaian melalui beberapa pendekatan, salah satunya dengan menambahkan jam konsultasi pribadi guru dengan murid, satu hal yang menurut penulis tidak efektif, karena hanya menambah kesibukan guru, dan menjadi beban secara profesional, karena pada dasarnya seorang guru tidak memiliki keahlian konseling yang diperlukan.
Penyebab utama putus sekolah karena faktor psikologis, menurut penulis, disebabkan oleh reformasi pendidikan di Jepang (mungkin yang dimaksud adalah reformasi pendidikan tahun 2002, mengikuti kebijakan NCLB No Child Left Behind Act). Penulis mengutip hasil penelitian Ronald P. Dore yang menyatakan kecenderungan Jepang untuk mencetak manusia dengan pendidikan tinggi atau disebut kougakureki shakai 高学歴社会 adalah "penyakit" khas peradaban modern. Menurut Dore, pilihan kebijakan pendidikan untuk negara maju dan makmur seperti Jepang adalah, mencetak manusia yang dibutuhkan oleh pasar kerja demi menciptakan pertumbuhan ekonomi, atau justru mengalihkan fokus pendidikan dari tujuan pertumbuhan ekonomi dan lebih mementingkan aktualisasi diri setiap individu.
Penulis menyayangkan pilihan pemerintah Jepang yang mengambil pilihan pertama; menyeragamkan disain pendidikan untuk seluruh anak-anak Jepang berdasarkan target rata-rata pencapaian yang diharapkan. Akibatnya, anak-anak yang di bawah rata-rata menjadi tertekan, dan menciptakan persaingan ketat untuk melebihi rata-rata dan menikmati status "elit" pendidikan. Misalnya, masuk ke universitas top dan kemudian bekerja di perusahaan besar. Belum lagi adanya tekanan psikologis karena sistem ini mengabaikan kepribadian setiap anak.
Tekanan psikologis karena sistem pendidikan di sekolah ini menciptakan 3 sinyal yang jika dibiarkan akan bermuara pada kondisi anak putus sekolah:
1. Anak merasa kehilangan jati diri, karena selalu dikondisikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan tutuntan mematuhi peraturan sekolah.
2. Anak kehilangan kepercayaan pada orang di sekitarnya, dan kehilangan percaya diri. Biasanya anak-anak mengkomunikasikan perasaannya tapi tidak mendapatkan respon atau pendampingan yang cukup.
3. Anak menolak jati dirinya sendiri, merasa tidak "normal" atau "berbeda" dengan orang kebanyakan. Pada titik ini anak-anak kadang mulai bersikap kasar, menyakiti orang terdekatnya bahkan menyakiti dirinya sendiri.
Untuk membebaskan anak-anak dari beban psikologis di sekolah, penulis menyarankan 3 penyelesaian:
1. Membebaskan anak dari persaingan yang berlebihan, karena pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar masih mementingkan kenyamanan bersama dengan teman yang sama, dan belum dapat menyesuaikan dengan anak lain yang berbeda, dalam kemampuan akademis maupun olahraga.
2. Membebaskan anak dari peraturan yang terlalu menekan ekspresi anak yang lumrah. Anak akan mengalami kelelahan psikologis jika dikondisikan untuk terus menerus menyesuaikan sikap demi menyenangkan orangtua atau guru di sekolah.
3. Mencintai anak tanpa syarat. Orang dewasa, khususnya orangtua harus berusaha mengenal kepribadian anak, membantunya untuk tumbuh sesuai dengan kemampuannya. Penulis bahkan berpendapat bahwa jika anak-anak menunjukan sinyal tekanan psikologis, yang lebih dulu harus mengikuti konseling adalah orangtua atau gurunya, baru kemudian konseling terhadap sang anak.
Penulis kemudian menekankan pentingnya orangtua yang menghadapi masalah anak putus sekolah untuk berkumpul bersama, saling berbagi pengalaman, dan memberi dukungan satu sama lain. Komunitas yang didirikan penulis disebut oyanokai 親の会 (berdasarkan penelusuran saya, salah satuny adalah Oyanokai Tanpopo)
Menurut definisi kementerian pendidikan Jepang tahun 2003, seorang anak (usia wajib belajar 6-15 tahun) disebut Putus Sekolah atau futoukou 不登校, jika absen dari sekolah selama total 30 hari dalam 1 tahun, di luar alasan sakit atau alasan ekonomi. Dalam kelompok anak putus sekolah ini, penulis menitikberatkan pembahasan pada anak-anak yang sebenarnya ingin pergi ke sekolah tapi tubuhnya "menolak", misalnya tiba-tiba sakit kepala, sakit perut, atau bahkan tidak memiliki tenaga sama sekali. Suatu kondisi fisik yang timbul karena masalah psikologi yang dialami anak-anak/remaja karena kondisi di sekolah, secara khusus disebut toukoukyohi 登校拒否.
Seiring dengan tren bertambahnya angka anak-anak putus sekolah, terutama masalah toukoukyohi karena faktor psikologis ini, pihak pemerintah pun mengupayakan penyelesaian melalui beberapa pendekatan, salah satunya dengan menambahkan jam konsultasi pribadi guru dengan murid, satu hal yang menurut penulis tidak efektif, karena hanya menambah kesibukan guru, dan menjadi beban secara profesional, karena pada dasarnya seorang guru tidak memiliki keahlian konseling yang diperlukan.
Penyebab utama putus sekolah karena faktor psikologis, menurut penulis, disebabkan oleh reformasi pendidikan di Jepang (mungkin yang dimaksud adalah reformasi pendidikan tahun 2002, mengikuti kebijakan NCLB No Child Left Behind Act). Penulis mengutip hasil penelitian Ronald P. Dore yang menyatakan kecenderungan Jepang untuk mencetak manusia dengan pendidikan tinggi atau disebut kougakureki shakai 高学歴社会 adalah "penyakit" khas peradaban modern. Menurut Dore, pilihan kebijakan pendidikan untuk negara maju dan makmur seperti Jepang adalah, mencetak manusia yang dibutuhkan oleh pasar kerja demi menciptakan pertumbuhan ekonomi, atau justru mengalihkan fokus pendidikan dari tujuan pertumbuhan ekonomi dan lebih mementingkan aktualisasi diri setiap individu.
Penulis menyayangkan pilihan pemerintah Jepang yang mengambil pilihan pertama; menyeragamkan disain pendidikan untuk seluruh anak-anak Jepang berdasarkan target rata-rata pencapaian yang diharapkan. Akibatnya, anak-anak yang di bawah rata-rata menjadi tertekan, dan menciptakan persaingan ketat untuk melebihi rata-rata dan menikmati status "elit" pendidikan. Misalnya, masuk ke universitas top dan kemudian bekerja di perusahaan besar. Belum lagi adanya tekanan psikologis karena sistem ini mengabaikan kepribadian setiap anak.
Tekanan psikologis karena sistem pendidikan di sekolah ini menciptakan 3 sinyal yang jika dibiarkan akan bermuara pada kondisi anak putus sekolah:
1. Anak merasa kehilangan jati diri, karena selalu dikondisikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan tutuntan mematuhi peraturan sekolah.
2. Anak kehilangan kepercayaan pada orang di sekitarnya, dan kehilangan percaya diri. Biasanya anak-anak mengkomunikasikan perasaannya tapi tidak mendapatkan respon atau pendampingan yang cukup.
3. Anak menolak jati dirinya sendiri, merasa tidak "normal" atau "berbeda" dengan orang kebanyakan. Pada titik ini anak-anak kadang mulai bersikap kasar, menyakiti orang terdekatnya bahkan menyakiti dirinya sendiri.
Untuk membebaskan anak-anak dari beban psikologis di sekolah, penulis menyarankan 3 penyelesaian:
1. Membebaskan anak dari persaingan yang berlebihan, karena pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar masih mementingkan kenyamanan bersama dengan teman yang sama, dan belum dapat menyesuaikan dengan anak lain yang berbeda, dalam kemampuan akademis maupun olahraga.
2. Membebaskan anak dari peraturan yang terlalu menekan ekspresi anak yang lumrah. Anak akan mengalami kelelahan psikologis jika dikondisikan untuk terus menerus menyesuaikan sikap demi menyenangkan orangtua atau guru di sekolah.
3. Mencintai anak tanpa syarat. Orang dewasa, khususnya orangtua harus berusaha mengenal kepribadian anak, membantunya untuk tumbuh sesuai dengan kemampuannya. Penulis bahkan berpendapat bahwa jika anak-anak menunjukan sinyal tekanan psikologis, yang lebih dulu harus mengikuti konseling adalah orangtua atau gurunya, baru kemudian konseling terhadap sang anak.
Penulis kemudian menekankan pentingnya orangtua yang menghadapi masalah anak putus sekolah untuk berkumpul bersama, saling berbagi pengalaman, dan memberi dukungan satu sama lain. Komunitas yang didirikan penulis disebut oyanokai 親の会 (berdasarkan penelusuran saya, salah satuny adalah Oyanokai Tanpopo)
Comments
Post a Comment