Bersama-sama Membesarkan Anak 手をつなぐ子育て oleh Katsuyuki Hiroki (1)
Judul : 手をつなぐ子育て Penulis : Katsuyuki Hiroki Penerbit : Kamogawa Shuppan Tahun : 2005 Jumlah Halaman : 213 ISBN 9784876998807 |
Bagian I Krisis Pengasuhan Anak
"It takes a village to raise a child", sebenarnya anak-anak dibesarkan tidak hanya oleh kedua orangtuanya, tapi secara bersama-sama dengan sesama warga sedusun. Sebuah kalimat yang mungkin sekarang sudah tidak berlaku lagi. Penulis menyebut kondisi pengasuhan anak (dalam bahasa Jepang, kosodate 子育て), sudah memasuki masa krisis. Penyebab pertama adalah, menurunnya kemampuan berkomunikasi pada anak-anak, dan erat kaitannya dengan penyebab kedua, yaitu terpusatnya fokus pengasuhan anak hanya kepada kedua orangtuanya, bahkan lebih sempit lagi, kepada ibunya saja.
Penulis yang kelahiran tahun 1945, mengalami masa kecil yang keras karena kekalahan Jepang dalam PPD II, menyebut pengasuhan anak di masanya masih lebih mudah ketimbang pengasuhan anak di masa kini, saat Jepang justru lebih makmur secara ekonomi. Penulis menyebutkan kekagetannya saat membaca berita kecelakaan balita yang meninggal dunia di eskalator sebuah pusat perbelanjaan ketika orangtuanya tengah berbelanja. "Dengan begitu banyaknya mata orang-orang yang tengah berbelanja, pasti ada yang melihat balita berkeliaran di dekat eskalator, mengapa tidak seorang pun berusaha mencegahnya?". Juga ketika mendapati seorang anak usia sekolah dasar yang tengah membayar seperangkat game yang harganya ratusan ribu, seorang diri di kasir. "Jaman saya kecil, penjual pasti menolak pembelian dengan nilai ratusan ribu oleh seorang anak kecil, dan menyarankan si anak untuk kembali lagi dengan ayah atau ibunya". Penulis menyimpulkan, masyarakat baik sesama orangtua, pemerintah, apalagi korporasi tidak ambil pusing akan pengaruh negatif produk-produknya pada pengasuhan anak. Mereka mengaggap pengasuhan anak adalah tanggungjawab orangtua, sensor dan regulasi untuk membatasi peredaran produk-produknya tidak diperlukan karena pilihan dan pengambilan keputusan secara penuh dikembalikan kepada setiap orangtua. Tidak ada produk yang buruk, yang ada adalah konsumen yang tidak bertanggung jawab!
Fokus pengasuhan yang mutlak pada orangtua inilah yang kemudian menyebabkan pergeseran dalam keluarga. Awalnya keluarga berfungsi sebagai penyokong kehidupan sehari-hari (seikatsu katei 生活家庭), dimana setiap anggotanya saling bahu membahu menjalani hidup sehari-hari sesuai perannya masing-masing, yang kemudian bergeser menjadi sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak (kyouiku katei 教育家庭), dimana orangtua dan anak mencerminkan hubungan vertikal dalam proses pendidikan anak. Akibatnya, orangtua kadang lebih menitikberatkan pencapaian hasil pendidikan, ketimbang menyediakan "rumah" yang memberikan cinta dan kehangatan pada anak-anaknya. Anak-anak pun tidak memiliki tempat untuk melepaskan penat setelah lelah belajar di sekolah, di tempat les, atau jika ada gesekan dengan teman-temannya.
Orangtua yang harus berjuang sendirian melindungi anak-anak dari bahaya benda-benda di sekitarnya, dari pengaruh buruk lingkungan dan media, juga berkewajiban membekali anak-anak dengan pendidikan yang cukup supaya dapat bersaing di pasar kerja, sehingga kelak anak-anaknya mapan secara ekonomi, tidak menjadi beban bagi masyarakat sekitar. Akibatnya orangtua kemudian menjadi sasaran produk-produk yang menawarkan cara cepat mencetak anak-anak yang unggul secara akademis, tapi melupakan fitrah anak, mengabaikan hasil-hasil penelitian tentang perkembangan otak anak dan tahapan-tahapan perkembangan psikologis anak yang alami. Beratnya merawat bayi dan balita juga menjadikan orangtua menggunakan produk-produk modern yang tanpa disadari memberikan pengaruh negatif. Penulis menyebutkan televisi dan popok sekali pakai (pospak) sebagai contoh. Televisi, selain pengaruhnya pada kesehatan mata, dan postur tubuh, televisi juga merampas perhatian orangtua dan anak dari kontak fisik dan komunikasi, khususnya pada saat menyusui bayi dan saat makan bersama. Berkat perkembangan teknologi, pospak masa kini semakin nyaman dan tahan bocor, mengakibatkan semakin menurunnya frekuensi kontak fisik bayi dengan orangtuanya (pada usia bayi 0-1 tahun, rata-rata pospak diganti 5-7 kali dalam sehari, bandingkan dengan popok kain yang bisa 20-25 kali sehari!). Penurunan frekuensi kontak fisik ini bersifat 2 arah, menurunkan kemampuan bayi untuk mengkomunikasikan ketidaknyamanannya kepada orangtua, sekaligus menurunkan jumlah "latihan" orangtua untuk segera menjawab panggilan anak dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Menurunnya kontak fisik inilah yang pada akhirnya menurunkan kualitas komunikasi dalam keluarga. Produk stimulasi kemampuan bahasa dan calistung dianggap mengganggu urutan perkembangan kemampuan anak, yang secara alamiah dimulai dari kemampuan mendengar sejak dalam kandungan, kemampuan menangis (sejak dilahirkan), kemampuan bicara (sofistikasi dari kemampuan menangis), kemampuan menggambar (cikal bakal kemampuan menulis), kemampuan bepikir (mengkomunikasikan hasil imajinasi ke dalam gambar/coretan/tulisan), kemampuan menulis (menghubungkan bunyi dengan lambang/simbol), baru kemudian kemampuan membaca (yang men-sinergikan keseluruhan tahapan perkembangan kemampuan sejak 0-6 tahun). Urutan tahapan perkembangan bahasa yang alami ini diperlukan untuk membantu anak menghadapi masa remaja, dalam berkomunikasi dengan teman sebaya, dan membentuk kemampuan pengendalian diri.
Penulis menyebut usia 9-10 tahun, sebagai masa penting, ibarat sebuah halang rintang yang harus dilewati setiap anak untuk memasuki masa remaja, biasa disebut kyuusai no kabe, 9歳の壁. Usia dimana anak-anak sudah mulai bisa berpikir secara abstrak, mulai mengenal dirinya sendiri, dan "bercermin" melihat dirinya di mata orang lain. Anak-anak pun mulai menemukan teman sehati, mendapat pengakuan, merasa tidak sendirian dan nyaman dengan dirinya sendiri. Ketidakseimbangan dalam perkembangan kemampuan bahasa di masa anak-anak akan mempengaruhi kemampuan mereka melompati rintangan menuju masa remaja.
Tentu saja tidak ada kata terlambat, masalah kemampuan bahasa pada anak, juga masalah kemampuan komunikasi dalam keluarga dapat diatasi dengan berbagai cara. Pertama, mengasah kemampuan untuk "mendengar" penuturan anak-anak dan pasangan. Mendengar dalam arti mendengarkan apa yang ingin anak-anak sampaikan, bukan mendengar apa-apa yang ingin orangtua ketahui tentang anak-anak. Ayah dan Ibu juga harus saling terbuka dan bersedia mendengarkan penuturan pasangan, dengan aturan yang sama; mendengarkan dari awal hingga akhir, tidak menghakimi, dan tidak memaksakan penyelesaian. Mendengarkan dari awal hingga akhir adalah tidak mudah, kadang penuturan anak sulit dimengerti.
Kedua, bergabung dengan komunitas yang dapat memberikan dukungan/support dalam pengasuhan anak, baik dari keluarga besar, teman sesama orangtua, guru-guru di sekolah, dan terakhir psikolog/konseler jika dibutuhkan. Selain meringankan beban para orangtua, komunitas juga membebaskan anak-anak dari hubungan vertikal dengan orangtua, karena menghadirkan sosok orang dewasa lain selain orangtua, sebagai sarana melatih anak untuk semakin "luwes" berkomunikasi dengan orang dewasa dengan berbagai tipe.
Ketiga, berbesar hati untuk meminta dan menerima bantuan jika membutuhkan. Komunitas harus menjadi wadah yang menerima kekurangan orangtua, juga kekurangan anak. Komunitas yang sebenarnya bukan mereka yang menghakimi kesalahan orangtua, tapi yang mendengarkan keluhan orangtua, berempati dan dapat diajak bersama-sama memecahkan masalah.
Komunitas seperti ini rasanya sulit untuk ditemukan, meskipun kita memiliki teman yang sehati, belum tentu dekat secara fisik. Langkah pertama yang harus dilakukan tentunya mendatangi tempat-tempat dimana orangtua saling berkumpul dan belajar pengasuhan anak. Kemudian melihat orangtua di sekitar kita sebagai teman seperjuangan, dan anak-anak mereka sebagai anak-anak yang akan besar bersama dengan anak-anak kita sendiri. Maka secara alamiah, kita akan berhenti menghakimi orangtua lain, dan ikut merasa bertanggungjawab akan keamanan anak-anak mereka. Jika setiap orangtua melakukan hal ini, maka sedikit demi sedikit kita dapat membentuk sebuah "dusun" yang warganya bergotong-royong bersama-sama membesarkan anak-anak.
Comments
Post a Comment