To Explain The World: The Discovery of Modern Science oleh Steven Weinberg

Judul : To Explain The World:
The Discovery of Modern Science
Penulis : Steven Weinberg
Jumlah halaman : 416
Penerbit/Tahun : HarperCollins/2016
ISBN : 978-0-141-98087-4

Buku ini menceritakan sejarah sains yang ditulis seorang ilmuwan Fisika, Steven Weinberg, peraih Nobel Fisika tahun 1979, bersama Abdus Salam dan Sheldon Lee Glashow. Sesuai bidangnya, Weinberg menceritakan sejarah sains melalui Fisika dan Astronomi. Weinberg menyajikan narasi tentang sejarah sains dan memisahkannya dari penjelasan teknis dan rinci yang disajikan dalam bagian Technical Notes (saya yang awam astronomi dan tidak pintar matematika, melewatkannya saja). Meskipun Weinberg dikenal sebagai atheis, prolog bukunya tentang judul buku yang menyiratkan bahwa sains merupakan penemuan (discovery) dan bukan penciptaan (invention), karena sains sendiri sudah ada, dan merupakan hasil penciptaan (creation).

Sains pada awalnya lahir sebagai Filosofi atau ilmu filsafat di masa Yunani, tepatnya era Plato (600 SM) sebagai pendiri The Academy. Tapi linimasa sains sebenarnya dimulai oleh Thales 200 tahun sebelum era Plato, yang disebut oleh Aristoteles dalam bukunya berjudul Metafisika sebagai pencipta filosofi, menyatakan air sebagai unsur terpenting di dunia. Sains pada masa Yunani, mempelajari unsur alam dan benda-benda langit, lalu menghubungkannya dengan Dewa atau Tuhan, Sang Maha Pencipta. Dokumentasi ilmiah pada masa itu masih berupa puisi, berbeda jauh dengan laporan ilmiah yang kita kenal hari ini. Unsur yang dipelajari semakin luas, meliputi udara, tanah, dan api yang membentuk "urutan kosmos", berkembang menjadi ilmu Fisika.

Sementara itu, pengamatan benda-benda langit;bumi dan hubungannya dengan bulan, planet, bintang, dan matahari melahirkan astronomi. Pada masa Yunani perdebatan sistem tata surya terbagi menjadi dua kubu: Konsentrik/homosperik oleh Aristotels dan Deferen/Episiklik oleh Ptolemy, keduanya menyatakan bumi adalah pusat tata surya/geosentrik, berbeda pada penjelasan mengenai orbit setiap benda langit. Episiklik lebih dekat pada hasil pengamatan, meskipun lebih karena hasil "fine tuning". Perdebatan ini terus berlangsung, dan dalam kurun waktu itu sains terus berkembang tak hanya dalam hal bidang yang dipelajari, tapi juga merubah bagaimana sains dipelajari dari masa ke masa. Penemuan sains dari masa Yunani seperti tongkat estafet, yang secara gotong royong dipindah tangankan ke masa Hellenis (The Museum di masa Alexander Agung), Arab (Bait al Hikmat pada kehalifahan Abasid), dan terakhir Eropa (The University di Paris tahun 1200).

Perdebatan yang panjang antara kesesuaian teori dan pengamatan ini berakhir dengan penemuan model Heliosentris, dimana matahari adalah pusat tata surya (ilmuwan Herchel dan Bessel, berpendapat pusat semesta dekat dengan matahari tapi bukan matahari itu sendiri). Model Heliosentris sebenarnya sudah mulai dikemukakan oleh Aristarchus di masa Yunani, tapi baru kemudian dibuktikan secara matematis oleh Copernicus di abad ke 15, dilengkapi temuan Keppler bahwa orbit tata surya bukan lingkaran melainkan elips, dan sesuai dengan pengamatan menggunakan teleskop yang ditemukan oleh Galilei. Newton, 100 tahun kemudian, menyempurnakan model Heliosentirs dengan teori gravitasinya, yang menjelaskan mengapa bumi, bulan, dan planet patuh pada orbitnya masing-masing. Penggunaan Matematika, penciptaan teleskop dan metode percobaan ilmiah (eksperimen) yang dilakukan oleh Copernicus, Galilei dan Newton inilah yang disebut "revolusi sains" yang menjadikan sains seperti yang kita kenal hari ini.

Perbandingan Model Heliosentrik oleh Aristarchus (kiri) dan Geosentrik Episiklik oleh Ptolemy (kanan), sebelum revolusi sains Copernicus-Galilei-Newton. Titik kuning, biru, dan merah adalah matahari, bumi, dan mars.
Gambar diambil dari wikipedia.














Sementara perdebatan dan pengamatan benda langit lebih dulu diselesaikan, sains di bumi atau di sekitar manusia masih terus berkembang dari masa ke masa, meliputi musik, astrologi (disebut fake science yang berdasar pada astronomi) matematika, gerakan/motion, optik, dan arsitektur. Biologi dan Kimia menjadi bagian yang paling akhir dimasukkan ke dalam sains. Di bagian akhir buku, Weinberg mengatakan bahwa Sains, dengan pembuktian matematis, kesesuaian dengan hasil pengamatan dan percobaan ilmiah, memiliki keterbatasan. Laboratorium tidak akan mampu menciptakan partikel dengan massa besar untuk melakukan percobaan ilmiah, pun pemahaman manusia tentang proses yang terjadi di otak berpengaruh pada kesadaran dan perasaan, sulit untuk menjelaskan melalui istilah ilmiah. Inilah yang disebut sebagai Reductionism dalam sainspraktik untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena yang kompleks menggunakan pembahasaan yang sederhana, selama konstituen menilai bahwa penjelasan tersebut cukup/sufficient dan bersifat mendasar/fundamental.

Membahas sains, tentu tidak lengkap kalau tidak mengkonfrontasikannya dengan agama. Weinberg menyisipkan konfrontasi sains dengan agama sejak masa Yunani, Hellenis, Arab maupun Eropa. Meskipun sains pada awalnya adalah filosofi, menyatukan manusia dengan The Benevolent Creator/Pencipta yang Maha Pemurah, dan institusi sains tak terpisahkan dengan otoritas agama maupun penguasa, perkembangan sains dimungkinkan justru dari sikap skeptis ilmuwan terhadap agama. Bahkan selama perjalanan tongkat estafet sains, kekerasan dan penyiksaan yang dialami ilmuwan karena dianggap murtad/makar dari agama maupun pemerintah merupakan sebuah fakta. Sains sendiri adalah bebas nilai, sains dapat menjadikan seseorang semakin religius maupun murtad/atheis, semua kembali kepada ilmuwan yang menggunakannya.

Sains, dalam perjalanannya yang panjang untuk melahirkan teori yang ajeg/konsisten hari ini, menghasilkan tak terbilang teori-teori yang salah dan tak terpakai. Tapi dalam pencarian itulah manusia menemukan kepuasan tersendiri, terlepas dari benar tidaknya hasil pencarian mereka. Pencarian untuk memuaskan rasa ingin tahu inilah yang melanggengkan sains. Hal yang menarik tentang islam dan sains, Weinberg menyebutkan banyak sekali kontribusi islam dalam sains, misalnya penemuan vaksin campak oleh al-Razi dan algoritma oleh al-Khwarizm. Bahkan dalam Commentariolus, Copernicus menyebutkan bahwa teori pergerakan planet temuan al-Tusi dan Ibn al-Shathir sangat berpengaruh dalam temuan teori revolusi. Mengapa ilmuwan-ilmuwan pada masa islam tidak dapat menyelesaikan hasil temuan itu menjadi model Heliosentrik? meskipun tidak eksplisit, Weinberg menyebutkan kemungkinan pengaruh al-Ghazali, ilmuwan yang memberikan banyak kontribusi dalam dunia sains maupun islam, bahwa pola/keteraturan yang ditemukan sains dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga manusia dapat mengingkari kejadian yang menyalahi keteraturan; sebuah mukjizat yang merupakan prerogatif Tuhan. Sains, diumpamakan seperti anggur, yang menguatkan badan tapi melemahkan pikiran, melenakan dan terlarang. Sifat melenakan sains ini terlihat dalam ungkapan Ptolemy saat menemukan penjelasan episiklik yang menguatkan model geosentrik, yang dikutip oleh Weinberg secara utuh:

I know that I am mortal and a creature of a day; but when I searched out the massed wheeling circles of the stars, my feet no longer touch the Earth, but, side by side with Zeus himself, I take my fill of ambrosia, the food of the gods. 
(hal, 100)

Comments

Tulisan Terpopuler

Antara Angelina Jolie dan Marie Kondo

Selesai sudah tugas membesarkan anak! 子育てはもう卒業します oleh Miu Kakiya

Submission oleh Michel Houellebecq