Saturday, September 9, 2017

Thomas Piketty dan Kesenjangan di Jepang (3)

Bagian kedua kolom 経済教室 kursus ekonomi, harian Nikkei Shinbun Kamis 12 Februari 2015 ditulis oleh Abe Aya, peneliti IPSS (National Institute of Population and Social Security Research). Piketty booming yang melanda Jepang merupakan fenomena yang menggembirakan karena masalah kesenjangan kembali menjadi perbincangan masyarakat Jepang, setelah terlupakan karena mulai tahun 90-an lebih memfokuskan perhatian pada masalah penuaan penduduk. Pada tahun 2013, masalah kesenjangan memang kembali mengemuka karena pemerintah Jepang mencanangkan kebijakan ekonomi untuk mengatasi masalah kemiskinan pada anak-anak. Tetapi kebijakan ini tidak menyentuh substansi kesenjangan seperti dimaksudkan Piketty dalam penelitiannya.



Piketty seakan menghidupkan kembali perdebatan tentang kesenjangan yang didasari oleh 2 pemikiran yang terbilang "baru" bagi masyarakat Jepang. Pertama, fokus perhatian kesenjangan akibat distribusi pendapatan dan akumulasi kekayaan antara kelas menengah dan kelompok populasi terkaya. Kedua, munculnya kekhawatiran jika sistem kapitalisme terus dilanjutkan maka jurang kesenjangan akan semakin melebar. Pemikiran pertama mungkin banyak disangkal, karena memang kondisi kesenjangan di Jepang setelah PPDII tidak separah negara-negara maju lainnya (lihat tulisan bagian 1). Tetapi tidak dapat dipungkiri, populasi penduduk yang tidak mencapai nilai median pendapatan terus meningkat, dari 12.0% di tahun 1985 menjadi 16.1% di tahun 2012. Juga kemiskinan pada anak-anak pada kurun waktu yang sama juga meningkat dari 10.9% menjadi 16,3%. Perlu dicatat, garis kemiskinan Jepang ditetapkan pada 1.730.000 yen pendapatan yang dapat dibelanjakan per tahun untuk keluarga beranggotakan 2 orang.

Piketty dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa rantai kemiskinan merupakan masalah penting. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang miskin cenderung akan jatuh pada kemiskinan kelak ketika dewasa. Data juga menunjukkan bahwa anak-anak dengan ibu yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi hanya 1% yang dikategorikan miskin, sedangkan anak-anak yang ibunya hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah menengah Atas yang dikategorikan miskin mencapai 8.6%. Sementara anak-anak yang dibesarkan orangtua yang mendapatan social assistance atau bantuan pemerintah untuk penduduk miskin, memiliki 50-70 persen kemungkinan akan membutuhkan bantuan yang sama ketika dewasa.

Masalahnya, darimana sumber dana untuk memperbaiki kondisi kemiskinan berasal, karena kondisi fiskal Jepang yang tidak dapat diharapkan. Penelitian Piketty menyarankan pemerintah kembali merumuskan kebijakan fiskal, yang tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi tapi juga mengatasi kesenjangan. Sayangnya, menurut penulis, Piketty booming terlanjur menjadikan masyarakat Jepang menganggap kesenjangan adalah masalah antara Penduduk Terkaya VS Kelas Menengah. Padahal data menunjukkan, fiskal Jepang sudah terlalu berat membiayai program pensiun dan asuransi nasional, sehingga jika misalnya Jepang harus menaikkan sosial assistance atau bantuan untuk penduduk termiskin sebesar 16% saja, maka redistribusi dari populasi terkaya pun tidak akan mencukupi. Sehingga mau tidak mau, kelas menengah pun harus ikut menanggungnya.

Penduduk Jepang sendiri sebagian besar merasa tidak termasuk golongan kelas menengah maupun miskin. Berdasarkan survei yang dilakukan tahun 2005, terhadap penduduk usia 20-69 tahun, hanya 0.9 persen menyatakan "merasa" mereka termasuk populasi penduduk terkaya. Sedangkan survei tahun 2013 (lihat grafik) menunjukkan bahwa, 28% responden menyatakan kehidupan mereka "sangat kekurangan", 32 persen menyatakan "kekurangan" , 32% menyatakan "berkecukupan", dan 0.5% saja menyatakan kehidupan mereka "berlebihan". Bahkan survei lain menunjukkan dalam kurun waktu 20 tahun, responden yang tadinya sebagaian besar menjawab kehidupan mereka "berkecukupan", kini mejawab "kekurangan".

Apabila masyarkat Jepang terlanjur menganggap masalah kesenjangan adalah urusan Penduduk Terkaya VS Kelas Menengah, maka penulis mengkhawatirkan sebagian besar masyarakat akan menjadi tidak acuh, karena menganggap mereka tidak "berkewajiban" memberikan sumbangsih untuk mengatasi masalah kesenjangan. Di akhir tulisannya, penulis menekankan bahwa penelitian Piketty menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan kesungguhan untuk mengatasi masalah kesenjangan. Hal ini menuntut setiap lapisan masyarakat untuk bersiap memberikan sumbangsih dalam mengatasi kesenjangan tersebut. Selesai.

No comments:

Post a Comment