Thomas Piketty dan Kesenjangan di Jepang (2)
Nikkei Shinbun menurunkan tulisan tentang kesimpulan Piketty dan pilihan kebijakan growth versus equity di Jepang 2 hari berturut dalam kolom 経済教室 Kursus Ekonomi, Nikkei Shinbun (setiap hari kerja). Pertentangan antar pertumbuhan dan kesejangan yang dibahas Piketty kembali ditelusuri dengan menggunakan data ekonomi Jepang. Bagian pertama (edisi Rabu 11 Februari 2015)diisi oleh tulisan Profesor Moriguchi Chiaki (Hitotsubashi University, Stanford University). Bekerja sama dengan Profesor Emanuel Saez (California University, Barkeley), Prof Moriguchi mengolah data pungutan pajak penghasilan atas 0.1% populasi terkaya di Jepang, mulai tahun 1890 hingga tahun 2012. Data ini memiliki ciri spesifik yang berbeda dengan data yang sama untuk negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Pertama, data ini mencakup rentang yang sangat panjang karena sejarah pemberlakuan pajak penghasilan yang dimulai sejak tahun 1887. Kedua, berbeda dengan Eropa yang mengalami revolusi industri di abad ke-18, ekonomi Jepang justru terlambat memulai proses industrialisasinya. Tetapi Jepang dapat menyusul ketertinggalannya dengan cepat.
Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa sebelum Perang Dunia II pungutan pajak penghasilan atas populasi terkaya Jepang mencapai hampir 10%, lalu kemudian jatuh hingga kurang dari 2% saja. Kondisi ini terus berlanjut hingga saat ini. Bahkan jika data pajak atas capital gain (keuntungan penjualan saham) yang dulu dikecualikan dari penghasilan yang kena pajak ikut diperhitungkan, hasil pungutan pajaknya tidak kembali ke kondisi sebelum PPDII. Singkatnya, kesenjangan ekonomi di Jepang hanya terjadi di masa sebelum PPDII, dan setelahnya ekonomi Jepang lebih adil dan merata.
Hal ini berbeda dengan data Amerik Serikat yang menunjukkan data pungutan pajak penghasilan populasi penduduk terkaya yang stabil sejak tahun 80-an pada posisi 8.8%, dengan nilai nominal pungutan pajak hampir 7 kali lipat pungutan pajak Jepang. Perbedaan ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, populasi terkaya Jepang mengalami kehilangan aset fisik karena serangan udara pasukan sekutu, termasuk pengambil alihan industri untuk membiayai keikutsertaan Jepang dalam PPD II. Kedua, adanya redistribusi kepemilikan tanah atau reformasi di bidang pertanahan setelah perang usai. Ketiga, pemberlakuan pajak akumulasi kekayaan dan warisan juga mencegah populasi terkaya Jepang untuk kembali ke kondisi semasa sebelum PPD II. Kempat, sistem manajemen perusahaan Jepang yang lebih bottom-up sehingga baik pekerja maupun pemilik modal ikut menikmati bersama hasil pertumbuhan ekonomi Jepang (baik dimasa pertumbuhan ekonomi tinggi di 60-an maupun masa pertumbuhan stabil di tahun 70-an dan 80-an).
Pecahnya economic bubble di akhir 80-an menimbulkan tekanan untuk mengubah sistem manajemen perusahaan dari pola cooperation (ditandai dengan pengangkatan pegawai seumur hidup) menjadi pola competition (hanya karyawan yang dianggap mampu yang menjadi karyawan tetap) seperti halnya Amerika. Pada kurun waktu ini pungutan pajak penghasilan atas 0.1% penduduk terkaya Jepang hanya mencapai 3.3%. Ketika pasar modal Jepang mencatat index tertinggi di tahun 2008 pun hanya menunjukkan 2.6%, dan bahkan akan lebih rendah lagi karena adanya Lehman Shock. Kesimpulannya, kesimpulan Piketty akan kesenjangan yang akan semakin tinggi di era pertumbuhan yang rendah sekitar 1-2% sepertinya bukan hal yang perlu dikhawatirkan Jepang. Walaupun demikian, pilihan untuk tetap menggunakan pola cooperation pun memiliki risiko sendiri, seperti kekhawatiran brain drain ketika karyawan yang berkemampuan lebih, merasa kurang mendapat penghargaan oleh perusahaan dan memilih untuk keluar dari Jepang. Perubahan sistem manajemen ke pola competition yang sedang berlangsung pun tentu menimbulkan risiko kesenjangan seperti yang dikhawatirkan Piketty. Mempertimbangakan perubahan-perubahan ini, di akhir tulisannya, Profesor Moriaki menekankan Jepang tidak dapat begitu saja mengenyampingkan masalah kesenjangan dari kebijakan ekonominya di masa yang akan datang. Bersambung.
Data hasil pungutan pajak atas 0.1% pernduduk terkaya Jepang 1890-2012 |
Hal ini berbeda dengan data Amerik Serikat yang menunjukkan data pungutan pajak penghasilan populasi penduduk terkaya yang stabil sejak tahun 80-an pada posisi 8.8%, dengan nilai nominal pungutan pajak hampir 7 kali lipat pungutan pajak Jepang. Perbedaan ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, populasi terkaya Jepang mengalami kehilangan aset fisik karena serangan udara pasukan sekutu, termasuk pengambil alihan industri untuk membiayai keikutsertaan Jepang dalam PPD II. Kedua, adanya redistribusi kepemilikan tanah atau reformasi di bidang pertanahan setelah perang usai. Ketiga, pemberlakuan pajak akumulasi kekayaan dan warisan juga mencegah populasi terkaya Jepang untuk kembali ke kondisi semasa sebelum PPD II. Kempat, sistem manajemen perusahaan Jepang yang lebih bottom-up sehingga baik pekerja maupun pemilik modal ikut menikmati bersama hasil pertumbuhan ekonomi Jepang (baik dimasa pertumbuhan ekonomi tinggi di 60-an maupun masa pertumbuhan stabil di tahun 70-an dan 80-an).
Pecahnya economic bubble di akhir 80-an menimbulkan tekanan untuk mengubah sistem manajemen perusahaan dari pola cooperation (ditandai dengan pengangkatan pegawai seumur hidup) menjadi pola competition (hanya karyawan yang dianggap mampu yang menjadi karyawan tetap) seperti halnya Amerika. Pada kurun waktu ini pungutan pajak penghasilan atas 0.1% penduduk terkaya Jepang hanya mencapai 3.3%. Ketika pasar modal Jepang mencatat index tertinggi di tahun 2008 pun hanya menunjukkan 2.6%, dan bahkan akan lebih rendah lagi karena adanya Lehman Shock. Kesimpulannya, kesimpulan Piketty akan kesenjangan yang akan semakin tinggi di era pertumbuhan yang rendah sekitar 1-2% sepertinya bukan hal yang perlu dikhawatirkan Jepang. Walaupun demikian, pilihan untuk tetap menggunakan pola cooperation pun memiliki risiko sendiri, seperti kekhawatiran brain drain ketika karyawan yang berkemampuan lebih, merasa kurang mendapat penghargaan oleh perusahaan dan memilih untuk keluar dari Jepang. Perubahan sistem manajemen ke pola competition yang sedang berlangsung pun tentu menimbulkan risiko kesenjangan seperti yang dikhawatirkan Piketty. Mempertimbangakan perubahan-perubahan ini, di akhir tulisannya, Profesor Moriaki menekankan Jepang tidak dapat begitu saja mengenyampingkan masalah kesenjangan dari kebijakan ekonominya di masa yang akan datang. Bersambung.
Comments
Post a Comment