Data hasil pungutan pajak atas 0.1% pernduduk terkaya Jepang 1890-2012 |
Hal ini berbeda dengan data Amerik Serikat yang menunjukkan data pungutan pajak penghasilan populasi penduduk terkaya yang stabil sejak tahun 80-an pada posisi 8.8%, dengan nilai nominal pungutan pajak hampir 7 kali lipat pungutan pajak Jepang. Perbedaan ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, populasi terkaya Jepang mengalami kehilangan aset fisik karena serangan udara pasukan sekutu, termasuk pengambil alihan industri untuk membiayai keikutsertaan Jepang dalam PPD II. Kedua, adanya redistribusi kepemilikan tanah atau reformasi di bidang pertanahan setelah perang usai. Ketiga, pemberlakuan pajak akumulasi kekayaan dan warisan juga mencegah populasi terkaya Jepang untuk kembali ke kondisi semasa sebelum PPD II. Kempat, sistem manajemen perusahaan Jepang yang lebih bottom-up sehingga baik pekerja maupun pemilik modal ikut menikmati bersama hasil pertumbuhan ekonomi Jepang (baik dimasa pertumbuhan ekonomi tinggi di 60-an maupun masa pertumbuhan stabil di tahun 70-an dan 80-an).
Pecahnya economic bubble di akhir 80-an menimbulkan tekanan untuk mengubah sistem manajemen perusahaan dari pola cooperation (ditandai dengan pengangkatan pegawai seumur hidup) menjadi pola competition (hanya karyawan yang dianggap mampu yang menjadi karyawan tetap) seperti halnya Amerika. Pada kurun waktu ini pungutan pajak penghasilan atas 0.1% penduduk terkaya Jepang hanya mencapai 3.3%. Ketika pasar modal Jepang mencatat index tertinggi di tahun 2008 pun hanya menunjukkan 2.6%, dan bahkan akan lebih rendah lagi karena adanya Lehman Shock. Kesimpulannya, kesimpulan Piketty akan kesenjangan yang akan semakin tinggi di era pertumbuhan yang rendah sekitar 1-2% sepertinya bukan hal yang perlu dikhawatirkan Jepang. Walaupun demikian, pilihan untuk tetap menggunakan pola cooperation pun memiliki risiko sendiri, seperti kekhawatiran brain drain ketika karyawan yang berkemampuan lebih, merasa kurang mendapat penghargaan oleh perusahaan dan memilih untuk keluar dari Jepang. Perubahan sistem manajemen ke pola competition yang sedang berlangsung pun tentu menimbulkan risiko kesenjangan seperti yang dikhawatirkan Piketty. Mempertimbangakan perubahan-perubahan ini, di akhir tulisannya, Profesor Moriaki menekankan Jepang tidak dapat begitu saja mengenyampingkan masalah kesenjangan dari kebijakan ekonominya di masa yang akan datang. Bersambung.
No comments:
Post a Comment