Saturday, September 9, 2017

Thomas Piketty dan Kesenjangan di Jepang (1)

Thomas Piketty, profesor dari Paris School of economics yang terkenal setelah menulis buku "Capital in the 21st Century" mendapat liputan besar-besaran saat mengunjungi Jepang 29 Januari- 1 Februari lalu. Saya mendengar pertama kali tentang buku ini saat menelusuri daftar buku "wajib" yang harus dibaca jika ingin sukses melakukan investasi. Buku ini disejajarkan dengan buku klasik semisal A Random Walk Down Wall Street (1973) karangan Burton G Malkiel, jadi bayangan saya pasti ini buku klasik yang susah dibaca. Ternyata buku ini adalah buku baru yang sedang booming dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Tapi tentang "susah dibaca" sepertinya saya benar, selain tebal (hampir 700 halaman), juga merupakan hasil studi yang menggunakan data besar yang dikumpulkan dalam kurun waktu yang panjang. Beruntung sekali berkat liputan di harian Nikkei Shinbun Minggu 2 Februari 2015 khusus halaman 日曜考える (kolom khusus setiap hari Minggu), saya sedikit mendapat "bocoran" tentang isi buku ini sekaligus diagnosis sang professor tentang kesenjangan (inequality) dan ekonomi Jepang. Menurut tulisan di Nikkei Shinbun tersebut, kesimpulan penelitan Piketty dalam buku ini adalah, negara-negara maju akan cenderung memiliki tingkat petumbuhan ekonomi growth (g) yang rendah dimasa depan, sekitar 1% atau 2% saja. Sedangkan tingkat hasil investasi, baik dari properti maupun investasi modal (saham dan surat berharga) return (r) akan melebihi tingkat pertumbuhan g tadi. Akibatnya secara umum kenaikan kesejahteraan masyarakat akan tumbuh lebih rendah dibandingan dengan kenaikan kekayaan pemilik modal, dan pada akhirnya memperbesar kesejangan atau inequity antara populasi terkaya (sering disebut 1% dari populasi) dengan populasi penduduk pada umumnya. Untuk mengatasi masalah ini selain menyarankan pajak yang lebih tinggi untuk 1% populasi terkaya tersebut, juga pajak yang lebih tinggi atas kekayaan berupa warisan atau pendapatan investasi. Karena cepatnya pergerakan modal di era globalisasi ini, Piketty menyarankan global wealth tax, mengajak dunia untuk secara global menaikkan pajak atas (akumulasi) kekayaan untuk kemudian didistribusikan kembali demi menjaga kesinambungan perekonomian dunia. Saat diminta men-diagnosis masalah ekonomi Jepang, Piketty menjelaskan bahwa masalah kesenjangan yang lebih mendesak untuk diselesaikan Jepang adalah kesenjangan antargenerasi. Jepang mengalami aging population dimana porsi penduduk yang sudah melewati usia produktif menjadi moyoritas dan cenderung kuat baik secara politis maupun ekonomi. Semetara kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk menaikkan pajak konsumsi (yang notabene pukul rata) secara bertahap dari 5% menjadi 8% per 1 April 2014, dan kemudian 10% mulai 1 April 2017 dianggap akan semakin memperbesar kesenjangan antargenerasi. Kebijakan lain yang mendorong transfer antargenerasi seperti hadiah atau pemberian bantuan uang sekolah dari kakek/nenek kepada cucu secara langsung (transfer bebas pajak) memang baik, tapi tidak cukup untuk memperbaiki kondisi populasi usia produktif. Kebijakan yang lebih tepat seharusnya menciptakan iklim usaha yang mendorong kenaikan upah secara langsung. Kesenjangan antara kelompok pekerja dengan pemilik modalpun perlu mendapat perhatian, karena Piketty menganggap kini pasar modal Jepang sudah memasuki area bubble. Prediksi yang mungkin telah mendekati kenyataan, mengingat pada hari Kamis 19 Februari lalu indeks Nikkei 225 mencatat rekor tertinggi 18.261.98 setelah 14 tahun, atau hampir sama dengan indeks pada saat IT Bubble tahun 90-an. Lalu bagaimana para ekonom Jepang mengomentari kesimpulan dan diagnosis Piketty?

bersambung.

No comments:

Post a Comment