Tragedi Anak Penurut よい子の悲劇 oleh Fujiya Tomita
Sayang sekali buku ini juga termasuk buku yang "menakut-nakuti" orangtua, dengan menggunakan contoh kasus-kasus yang ditangani oleh penulis, Fujiya Tomita, seorang konseler anak dan keluarga. よい子, atau anak penurut yang disebut dalam buku ini juga ternyata bukan merupakan tipe kepribadian tertentu yang didasari oleh hasil penelitan khusus. Penulis seperti larut dalam nostalgia seakan-akan "masa lalu" sebelum PD II lebih indah, adem ayem. Penulis juga seakan menyalahkan orangtua yang sibuk berkarir sebagai pelarian dari totalitas membersarkan anak.
Anak penurut dalam buku ini adalah anak yang "mudah diatur", selalu mematuhi orangtua, ingin menyenangkan orang lain, memilih bersabar dan mengalah demi menghindari konflik meskipun harus mengorbankan perasaannya sendiri. Bahaya memiliki anak yang penurut ini adalah kemungkinan orangtua menjadi "lengah" yang di buku ini disebut あぐらをかく dan terlalu mengandalkan anak. Misalnya sang anak mengalami kelelahan, kesulitan atau kegagalan, orangtua terus "menyemangati", padahal bagi anak yang selalu berusaha menyenangkan orangtuanya, kata-kata penyemangat dari orangtua menjadi tekanan untuk lebih giat lagi, melebihi kemampuannya. Saat usaha sudah maksimal tapi kegagalan yang terjadi (disebut 報われない動力) ia hanya ingin orangtua menerima kekurangan, memaklumi kegagalannya, dan menghargai kerja kerasnya.
Jika orangtua "kehilangan" momen untuk menangkap sinyal kelelahan jiwa si anak penurut, maka kemungkinannya 1) si anak menjadi pemberontak dan mencampakkan "topeng" anak penurut yang selama ini dipakainya, atau 2) si anak menjadi tak peduli dengan orangtua, lalu menghindari komunikasi yang berarti dengan mereka. Nah, menurut penulis, pelaku Tragedi Sasebo termasuk tipe 1).
Jika ada hal yang patut dijadikan pembelajaran dalam buku ini adalah pentingnya melatih anak untuk mengasah kemampuan bergaul dengan sesama manusia. Membiasakan untuk dengan jujur mengunkapkan perasaannya, meskipun berisiko menimbulkan konflik atau bahkan dikecewakan dan disakiti. Istilah dalam buku ini せめぎあって、折り合って、おたがいさま. Bertengkar tidak melulu bermakna negatif, asalkan sambil berusaha mencari jalan tengah dan berbaikan. Jika kita terlanjur menyakiti orang lain, tuluslah meminta maaf, begitu juga ketika tersakiti, berusahalah untuk memaafkan. Risiko tersakiti di satu sisi menciptakan kemungkinan mendapatkan pelipur hati di sisi lain. Jangan menyerah dan melarikan diri dari berhubungan dengan sesama manusia. Meskipun saat ini apa saja bisa dilakukan dengan nyaman tanpa perlu merepotkan atau melibatkan orang lain, sebagai makhluk sosial, suatu saat anak akan merindukan interaksi yang tulus dengan sesama manusia.
Manusia pertama tempat berlatih bersosialisasi anak adalah orangtua. Jadilah orangtua yang jujur dalam berkomunikasi dengan anak. Tidak perlu menggunakan "topeng" manusia sempurna, setinggi apapun akademis dan karir orangtua. Melihat orangtua yang nyaman dengan dirinya sendiri, si anakpun akan nyaman dengan dirinya sendiri. Tidak ada orangtua sempurna maupun anak sempurna di dunia ini, terimalah kelemahan diri sendiri sebagai orangtua dan berhentilah menuntut anak menjadi anak yang sempurna.
Comments
Post a Comment