Hidup 100 Tahun di Era Internet of Things (1)
Ternyata saya semakin nyaman membaca beberapa buah buku sekaligus. Memang jadi lambat (plus buku semakin keriting), tapi saya mendapat bonus karena sedikit banyak bisa menarik benang merah dari buku-buku tersebut. Setelah selesai membaca Debt the first 5000 years, saya membaca The Zero Marginal Cost Society; The Internet of Things, The Collaborative Commons, and The Eclipse of Capitalism dan The 100-year life; Living and Working in The Age of Longevity.
Di akhir Debt, buku yang mengulas sejarah hutang selama 5000 tahun peradaban manusia, penulis meramalkan era sejak Bretton Woods berakhir tahun 1970 ke depan adalah awal sebuah era yang masih belum jelas terprediksi. Penulis menyebutnya The beginning of something yet to be determined, suatu era setelah sistem Kapitalisme berakhir seperti ramalan Keynes,
I see, therefore, the rentier aspect of capitalism as a transitional phase which will disappear when it has done its work. And with the disappearance of its rentier aspect much else in its besides will suffer a sea-change. It will be, moreover, a great advantage of the order of events which I am advocating, that the euthanasia of the rentier, of the functionless investor, will be nothing sudden...and will need no revolutions. p. 374
Nah, dalam buku Zero, era ini diramalkan menjadi Era Kolaborasi atau Sharing Economy. Zero membahas detil perkembangan ekonomi melewati dua kali revolusi. Revolusi Industri Pertama, penemuan mesin uap yang menaikkan produktivitas. Lalu Revolusi Industri Kedua, penemuan minyak bumi dan sistem pembakaran yang semakin mempertinggi produktivitas. Kemudian kini, Revolusi Industri Ketiga tengah bergulir, penggunaan internet di segala bidang, dikenal dengan Internet of Things (IoT, istilah yang pertama dipopulerkan Kevin Ashton di tahun 1995).
Penggunaan IoT dalam Komunikasi, Transportasi dan Energi akan mendorong melambungnya produktivitas dan menekan biaya produksi. Setiap individu, dimana saja berada, dapat saling terhubung selama ada internet. Ketersediaan internet pun semakin murah dan semakin meluas. Begitu juga dengan transportasi logistik, setiap carrier terhubung dengan GPS sehingga rute perpindahan barang semakin efisien. Terlebih lagi, sumber energi baru yang bersih, dapat diperbaharui dan melimpah tanpa memerlukan biaya besar layaknya energi fossil, yang memakan biaya besar dari mulai tahap eksplorasi, pengeboran maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Biaya Produksi yang menjadi dasar penentuan harga (biaya plus laba) yang dikenal dengan Marginal Cost of Production; biaya untuk memproduksi satu unit tambahan produk-diluar biaya tetap-mendekati nol. Akibatnya, laba sebagai "darah" dari sistem kapitalis akan habis dengan sendirinya.
Biaya produksi yang mendekati nol ini berdampak pada semakin turunnya harga produk, bahkan gratis. Sekarang ini dunia musik dan entertainmen, juga percetakan buku sudah mulai merasakan dampaknya. Buku, musik dan film dalam bentuk elektronik dipasarkan dengan harga sangat murah atau malah gratis. Begitu juga dengan informasi mengenai keahlian dan keterampilan yang disebarkan cuma-cuma oleh pengguna internet, hingga kini tak perlu lagi untuk merogoh kantong dalam-dalam untuk mengikuti kursus-kursus keterampilan. Tidak sampai disitu, kuliah-kuliah dan seminar yang dipandu oleh dosen-dosen terkenal di universitas bergengsi pun sudah dapat diakses dengan gratis.
Kegiatan produksi diramalkan akan semakin tersebar setelah 3D Printer mulai populer. Saat itu setiap orang bukan hanya seorang konsumer tapi sekaligus produser, disebut prosumer. Mereka memproduksi sendiri barang-barang yang mereka butuhkan, menciptakan inovasi dan terobosan produk baru dan kemudian memasarkannya secara langsung, dengan mudah dan murah. Kecanggihan teknologi akan menggantikan manusia, tidak hanya di pekerjaan manual tapi juga profesional, dari posisi faktor produksi, dan mengembalikan manusia kepada kodratnya sebagai mahluk sosial, untuk saling berbagi satu sama lain.
Manusia, yang bukan lagi sekedar salah satu faktor produksi, adalah commons; setiap individu yang berkolaborasi dengan sesamanya untuk menciptakan kehidupan yang saling terintegrasi, smart cities with clean and smart energy. Kepemilikan, atau property rights sebagai salah satu produk kapitalis yang memberikan hak penggunaan ekslusif untuk mengekstraksi dan mengeksploitasi apa saja demi mendapatkan laba akan hilang, berganti dengan kemudahan akses. Saat ini sudah mulai terlihat dengan populernya layanan sewa rumah atau kendaraan online, lagi-lagi dengan mudah dan murah. Keterhubungan setiap individu menyatukan segala macam keahlian, sehingga benih-benih kolaborasi para commons sudah terlihat di banyak bidang, termasuk merambah ke kedokteran (braintalk), perbankan (crowdfunding), termasuk mata uang (bitcoin dll). Bahkan penulis menyebut para commons ini adalah makhluk Homo Empathicus yang saling berbagi dan bertanggungjawab terhadap sesama dan lingkungannya.
Tentu saja IoT tidak hanya meberikan harapan baru tanpa tantangannya sendiri. Meskipun dapat memangkas Marginal Cost of Production hingga mendekati nol, IoT memerlukan biaya pembangunan infrastruktur yang sangat mahal. Siapa yang akan membiayai pembangunan dan perawatannya? Pemerintah atau Korporasi?. Zero memberikan contoh proyek-proyek infrastruktur besar di masa lalu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih sukses dilaksanakan pemerintah. Tapi Zero lebih meramalkan akan semakin mandirinya commons untuk melaksanakannya secara swakarsa. Commons yang berkolaborasi dalam wadah koperasi dan social enterpreneurship akan semakin banyak turut serta dalam dunia bisnis dan ekonomi, bahkan mungkin mengimbangi korporasi.
Tantangan lain adalah kerentanan IoT terhadap teror cyber. Bayangkan sebuah sistem yang terintegrasi akan lumpuh sekaligus setiap kali mendapat serangan. Dampaknya akan luas dan dalam, mempengaruhi semua lini kehidupan keseharian manusia. Dua hal yang menjadi ganjalan saya adalah, ramalan yang tertulis dalam Zero pastilah sudah bukan rahasia bagi korporasi. Seperti apakah bentuk resistensi dan usaha mereka untuk dapat bertahan dalam era IoT kedepan? Kemudian, jika IoT mengintegrasikan sisi baik para commons hingga menghasilkan kolaborasi yang indah, bagaimana dengan sisi "gelap" meraka yang bukan tidak mungkin akan semakin terintegrasi (ingat kasus grup fedofil Indonesia di fb dengan 7000 anggota?), bukankah akan menciptakan tarik-ulur yang lebih kuat bahkan berpotensi memecah belah?
Bersambung ke Bagian 2
Di akhir Debt, buku yang mengulas sejarah hutang selama 5000 tahun peradaban manusia, penulis meramalkan era sejak Bretton Woods berakhir tahun 1970 ke depan adalah awal sebuah era yang masih belum jelas terprediksi. Penulis menyebutnya The beginning of something yet to be determined, suatu era setelah sistem Kapitalisme berakhir seperti ramalan Keynes,
I see, therefore, the rentier aspect of capitalism as a transitional phase which will disappear when it has done its work. And with the disappearance of its rentier aspect much else in its besides will suffer a sea-change. It will be, moreover, a great advantage of the order of events which I am advocating, that the euthanasia of the rentier, of the functionless investor, will be nothing sudden...and will need no revolutions. p. 374
Nah, dalam buku Zero, era ini diramalkan menjadi Era Kolaborasi atau Sharing Economy. Zero membahas detil perkembangan ekonomi melewati dua kali revolusi. Revolusi Industri Pertama, penemuan mesin uap yang menaikkan produktivitas. Lalu Revolusi Industri Kedua, penemuan minyak bumi dan sistem pembakaran yang semakin mempertinggi produktivitas. Kemudian kini, Revolusi Industri Ketiga tengah bergulir, penggunaan internet di segala bidang, dikenal dengan Internet of Things (IoT, istilah yang pertama dipopulerkan Kevin Ashton di tahun 1995).
Penggunaan IoT dalam Komunikasi, Transportasi dan Energi akan mendorong melambungnya produktivitas dan menekan biaya produksi. Setiap individu, dimana saja berada, dapat saling terhubung selama ada internet. Ketersediaan internet pun semakin murah dan semakin meluas. Begitu juga dengan transportasi logistik, setiap carrier terhubung dengan GPS sehingga rute perpindahan barang semakin efisien. Terlebih lagi, sumber energi baru yang bersih, dapat diperbaharui dan melimpah tanpa memerlukan biaya besar layaknya energi fossil, yang memakan biaya besar dari mulai tahap eksplorasi, pengeboran maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Biaya Produksi yang menjadi dasar penentuan harga (biaya plus laba) yang dikenal dengan Marginal Cost of Production; biaya untuk memproduksi satu unit tambahan produk-diluar biaya tetap-mendekati nol. Akibatnya, laba sebagai "darah" dari sistem kapitalis akan habis dengan sendirinya.
Biaya produksi yang mendekati nol ini berdampak pada semakin turunnya harga produk, bahkan gratis. Sekarang ini dunia musik dan entertainmen, juga percetakan buku sudah mulai merasakan dampaknya. Buku, musik dan film dalam bentuk elektronik dipasarkan dengan harga sangat murah atau malah gratis. Begitu juga dengan informasi mengenai keahlian dan keterampilan yang disebarkan cuma-cuma oleh pengguna internet, hingga kini tak perlu lagi untuk merogoh kantong dalam-dalam untuk mengikuti kursus-kursus keterampilan. Tidak sampai disitu, kuliah-kuliah dan seminar yang dipandu oleh dosen-dosen terkenal di universitas bergengsi pun sudah dapat diakses dengan gratis.
Kegiatan produksi diramalkan akan semakin tersebar setelah 3D Printer mulai populer. Saat itu setiap orang bukan hanya seorang konsumer tapi sekaligus produser, disebut prosumer. Mereka memproduksi sendiri barang-barang yang mereka butuhkan, menciptakan inovasi dan terobosan produk baru dan kemudian memasarkannya secara langsung, dengan mudah dan murah. Kecanggihan teknologi akan menggantikan manusia, tidak hanya di pekerjaan manual tapi juga profesional, dari posisi faktor produksi, dan mengembalikan manusia kepada kodratnya sebagai mahluk sosial, untuk saling berbagi satu sama lain.
Manusia, yang bukan lagi sekedar salah satu faktor produksi, adalah commons; setiap individu yang berkolaborasi dengan sesamanya untuk menciptakan kehidupan yang saling terintegrasi, smart cities with clean and smart energy. Kepemilikan, atau property rights sebagai salah satu produk kapitalis yang memberikan hak penggunaan ekslusif untuk mengekstraksi dan mengeksploitasi apa saja demi mendapatkan laba akan hilang, berganti dengan kemudahan akses. Saat ini sudah mulai terlihat dengan populernya layanan sewa rumah atau kendaraan online, lagi-lagi dengan mudah dan murah. Keterhubungan setiap individu menyatukan segala macam keahlian, sehingga benih-benih kolaborasi para commons sudah terlihat di banyak bidang, termasuk merambah ke kedokteran (braintalk), perbankan (crowdfunding), termasuk mata uang (bitcoin dll). Bahkan penulis menyebut para commons ini adalah makhluk Homo Empathicus yang saling berbagi dan bertanggungjawab terhadap sesama dan lingkungannya.
Tentu saja IoT tidak hanya meberikan harapan baru tanpa tantangannya sendiri. Meskipun dapat memangkas Marginal Cost of Production hingga mendekati nol, IoT memerlukan biaya pembangunan infrastruktur yang sangat mahal. Siapa yang akan membiayai pembangunan dan perawatannya? Pemerintah atau Korporasi?. Zero memberikan contoh proyek-proyek infrastruktur besar di masa lalu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih sukses dilaksanakan pemerintah. Tapi Zero lebih meramalkan akan semakin mandirinya commons untuk melaksanakannya secara swakarsa. Commons yang berkolaborasi dalam wadah koperasi dan social enterpreneurship akan semakin banyak turut serta dalam dunia bisnis dan ekonomi, bahkan mungkin mengimbangi korporasi.
Tantangan lain adalah kerentanan IoT terhadap teror cyber. Bayangkan sebuah sistem yang terintegrasi akan lumpuh sekaligus setiap kali mendapat serangan. Dampaknya akan luas dan dalam, mempengaruhi semua lini kehidupan keseharian manusia. Dua hal yang menjadi ganjalan saya adalah, ramalan yang tertulis dalam Zero pastilah sudah bukan rahasia bagi korporasi. Seperti apakah bentuk resistensi dan usaha mereka untuk dapat bertahan dalam era IoT kedepan? Kemudian, jika IoT mengintegrasikan sisi baik para commons hingga menghasilkan kolaborasi yang indah, bagaimana dengan sisi "gelap" meraka yang bukan tidak mungkin akan semakin terintegrasi (ingat kasus grup fedofil Indonesia di fb dengan 7000 anggota?), bukankah akan menciptakan tarik-ulur yang lebih kuat bahkan berpotensi memecah belah?
Bersambung ke Bagian 2
Comments
Post a Comment