Anak-anak yang sulit bergaul, haruskah pergi ke sekolah?
1. 友達ができにくい子どもたち Anak-anak yang sulit bergaul oleh Asayo Ishizaki.
Sampulnya menggambarkan si Aa yang sejak bayi/toddler senangnya main sendiri. Pencinta plarail, perlintasan kereta dan lampu lalu lintas. Kondisi yang tidak berubah saat mulai masuk TK. Saat teman-temannya berlarian berkejaran, atau memanjat bukit kecil di sekolah, Aa memilih aktivitas sendiri di kelas. Saat terpaksa harus berpartisipasi dalam permainan kelas pun tidak terlihat menikmati, walaupun tidak menolak.
Buku ini ditulis terapis anak, Asayo Ishizaki, berdasarkan hasil survei terhadap 1.587 anak usia 1-5 tahun yang dilaksanakan pada bulan Maret tahun 1996. Hasilnya menunjukkan sekitar 5% anak sulit bergaul. Penyebab utamanya adalah, belum sempurnanya pertumbuhan emosional anak, tidak telatih menangkap reaksi verbal maupun non verbal dari partner bicara (konon pola asuh sedikit banyak berpengaruh), dan kasar (biasanya karena belum bisa berkomunikasi dengan baik).
Tipe anak yang sulit bergaul ini dikelompokkan menjadi 7 kelompok, lalu diperkecil lagi menjadi 4 grup; 1) senang bermain sendiri, 2) tidak bisa diam, 3) sebaliknya, diam saja atau sangat lambat, 4) autis atau asperger syndrom. Penulis menekankan lingkungan (termasuk pola asuh) memang mempengaruhi kondisi anak-anak ini, tapi faktor bawaan juga belakangan diketahui lebih berperan. Sebagai orangtua, selama tidak menjalankan pola asuh yang sangat ekstrim (mematikan rasa ingin tahu anak, mengurung mereka di rumah, melakukan kekerasan dll), anak-anak akan baik2 saja. Yang terpenting adalah jika dirasakan ada hal yang perlu mendapat perhatian, sebaiknya mendapatkan bantuan medis/terapis. Seringkali masalah ini menghilang seiring dengan pertumbuhan anak, atau dengan bantuan terapi. Meskipun tidak hilang sama sekali, toh misalnya kelak tetap tumbuh menjadi orang dewasa yang sulit atau tidak senang bergaul, banyak juga yang masih bisa mandiri, bekerja dan menikah seperti layaknya teman-teman mereka. Satu hal yang perlu dicatat, dukungan lingkungan yang mengerti dan memberikan support terhadap mereka mutlak diperlukan.
Lalu, mengapa orangtua maupun guru merasa perlu khawatir terhadap anak-anak yang sulit bergaul ini? Jawaban dari survey diatas adalah; 1) khawatir anak tersebut menjadi korban ijime/bullying dan 2) khawatir anak tersebut menolak pergi ke sekolah/putus sekolah.
Nah, jawaban ini menuntun saya ke buku yang kedua.
2. 子どもはなぜ学校に行くのか, Apakah anak-anak harus bersekolah? oleh Takashi Watanabe
Penulis adalah psikolog yang banyak menangani anak-anak yang menolak pergi ke sekolah. Penulis mengajak orangtua dan guru untuk mengambil sudut pandang lain dalam menghadapi anak-anak ini. Alih-alih menganggap anak-anak ini bermasalah dan berusaha mengembalikan mereka ke sekolah, penulis mengajak orangtua dan guru untuk bertanya, Mengapa anak-anak ini harus bersekolah?
Ketika pagi datang dan matahari terbit, maka anak-anak bangun dan bergegas ke sekolah. Seolah-olah sekolah adalah bagian dari fenomena alam, seperti matahari yang sudah pasti terbit esok hari, anak-anak pun harus ke sekolah. Semakin hari tingkat pendidikan anak semakin tinggi, seakan-akan anak-anak sangat senang belajar dan ingin terus belajar. Seakan-anak mereka akan bahagia berada di sekolah.
Kenyataannya, tidak sedikit anak-anak yang tertekan berada di sekolah. Saat mereka menolak pergi ke sekolah, itu adalah bentuk pertahanan dan perlawanan tubuh mereka terhadap tekanan, yang jika dibiarkan akan berakibat buruk bagi kesehatan fisik maupun psikis mereka. Penulis mengajak pembaca untuk bepikir, tidak hanya untuk "mengoreksi" anak-anak ini, tapi juga "memperbaiki" insititusi sekolah itu sendiri.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari buku ini, adalah argumen wajib belajar 9 tahun atau disebut 義務教育 yang membuat pemerintah terkesan sangat otoriter mewajibkan anak-anak belajar di sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama. Pilihan sekolah rumah atau homeschool memerlukan administrasi berbelit. Begitu juga pilihan darurat untuk menyekolahkan anak di free school, penulis sendiri mengelola free school yang diperuntukkan untuk anak-anak yang menolak pergi ke sekolah. Lulusan free school sendiri sulit untuk mendapat pengakuan untuk melanjutkan pendidikan ke universitas atau untuk digunakan dalam mencari pekerjaan. Penulis menolak wajib belajar 9 tahun sebagai kewajiban rakyat, sebagaimana kewajiban membayar pajak, dan wajib militer (dihapus setelah Perang Dunia ke-2). Menurut penulis, wajib belajar adalah kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan biaya penyelenggaraan pendidikan, dan kewajiban bagi orangtua untuk secara administrasi mendaftarkan anaknya supaya mendapatkan akses belajar. Sementara tidak ada kewajiban bagi anak untuk pergi dan belajar di sekolah.
Sayangnya, buku ini hanya berisi kumpulan essay yang lebih banyak memberikan pertanyaan retoris. Argumentasi penulis terhadap institusi sekolah yang kuat dan mendongkrak. Tapi setelah semua pola pikir yang ajeg tentang sekolah dan karir porak poranda, saya tidak menemukan konsep baru untuk menatanya kembali sehingga menjadi sebuah alternatif lain. Minimal buku ini meyakinkan kita bahwa jika anak menolak sekolah itu bukan akhir dari segala-galanya.Saya kemudian mulai mencari tulisan penulis yang lain, mungkin buku penulis yang berjudul 自然に学ぶ子育て Belajar secara alamiah, adalah alternatif yang penulis rekomendasikan.
==========================
Membaca kedua buku ini, saya jadi ingat alasan orangtua memasukkan anak ke playgroup atau TK yang sebagian besar "untuk belajar bersosialisasi". Kesannya kalau setelah lulus mereka akan menjadi pintar bergaul, luwes tampil di muka umum, cakap bicara di depan publik dll. Menurut saya, setiap anak punya kepribadian masing-masing, mereka yang "dari sononya" mudah bergaul akan menemukan "sarana"nya. Sementara yang sulit bergaul akan mendapat "latihan" atau justru "tantangan". Hasil akhirnya bisa menjadi agak mudah bergaul atau justru balik kanan menutup pintu dan mengurung diri.
Bagaimanapun "menceburkan" anak-anak ke lingkungan seusianya menurut saya adalah tahapan yang penting dalam tumbuh kembang anak. Lingkungan yang termudah adalah sekolah, karena saya tidak usah susah-susah membuat "playdate" setiap hari. Walaupun tentu ada banyak kekurangan karena "kekakuan" institusi sekolah, yang harus saya pikirkan sendiri solusinya.
Saat mengintip anak-anak di sekolah atau di TK, saya sering terheran-heran sendiri melihat "wajah" lain mereka yang tidak pernah ditunjukkan kepada kami, orangtuanya, di rumah. Semoga setiap orang yang mereka temui dalam hidup mereka memberikan hikmah, aamiin.
Comments
Post a Comment