Monday, November 28, 2016

Mendadak Ekonom

Pernahkah anda mendengar celetukan, "ngaji lagi gih!", saat ada diskusi tentang suatu peristiwa dan dialog agama di dalamnya? atau celetukan "udah lupa ya pelajaran makroekonomi?", saat ada perdebatan tentang suatu kebijakan ekonomi baru? jawaban atas celetukan-celetukan ini macam-macam, "ya sudah, kita setuju untuk berbeda", atau "Ah saya lebih baik diam dan meninggalkan perdebatan". Hasil akhirnya? dialog berakhir, menyisakan kekesalan yang kemudian akan muncul lagi saat ada peristiwa baru yang menjadi topik pembicaraan.

Pengetahuan minimal penting untuk menjadikan dialog hidup dan menjadi pembelajaran buat pesertanya, bukan debat kusir atau tempat adu kuat memaksakan pendapat. Pun meninggalkan pembicaraan karena putus asa dengan arah pembicaraan bukan keputusan yang bijaksana. Setiap kita harus terus belajar, supaya bisa membuat orang lain mengerti dan supaya kita bisa mengerti orang lain.

Adalah sebuah buku setipis 250 halaman berjudul The Instant Economist yang membuat saya ingin terus belajar tentang ekonomi. Buku yang menyadarkan saya tentang pentingnya pengetahuan minimal dalam sebuah topik tertentu, jika ingin ikut berdialog dan kemudian mengemukakan pendapat. Buku ini adalah bagian dari seri The Great Courses yang bertujuan untuk memberi dasar pengetahuan minimal suatu topik yang dianggap berat oleh orang kebanyakan, disampaikan dengan ringan dan mudah dimengerti, dan memotivasi pembaca untuk kemudian mendalami lebih jauh topik tersebut. Jika ada yang hal yang kurang menurut saya, mungkin tentang perlunya mencantumkan rumus Balance of Payment yang sama sederhananya, hanya persamaan tambah kurang, dengan rumus Gross Domestic Product sebagai satu-satunya istilah ekonomi yang dituliskan persamaan matematikanya dalam buku ini.

Berbekal pengetahuan minimal ini, saya dapat menikmati buku-buku yang saya baca kemudian, Debt the first 5000 thousand years, dan Capital in the twenty-fist century yang tebalnya lebih dari 500 halaman. Buku Debt dan Capital memang harus tebal dan berat, karena penulisnya memilih menjelaskan dengan detil, teratur dan mengalir sesuai dengan kecepatan pembaca mencerna informasi di dalamnya. Debt dan Capital juga meliputi data dengan rentang waktu yang panjang, Debt dari awal peradaban manusia dan Capital dari awal tahun Masehi. Mengapa perlu seluas itu? karena tipe pembelajar berbeda, ada yang cuma perlu "kick off" lalu kemudian bisa menjelajah tanpa dipandu, dan ada yang maunya "one stop shopping", tau semuanya dengan sekali jalan.

Satu hal yang membuat saya menempatkan Debt dan Capital dalam level yang sama adalah, selain tujuan penulisannya, adanya bab tentang perbudakan dalam kedua buku ini, yang belum pernah saya temukan dibahas dalam buku-buku standar textbook ekonomi yang pernah saya pelajari. Budak yang pada suatu masa tidak lebih sebagai uang dan alat pembayaran dalam Debt, jsedangkan dalam Capital dibahas sebagai slave capital , tepatnya dalam sistem perbudakan di Amerika yang dihapus di tahun 1865. Juga pandangan keduanya yang menganggap sebagian besar orang memiliki kekhawatiran berlebihan tentang Hutang Negara. Graber menyebut negara yang berhutang dan menunggak belum tentu lebih rendah moralnya dibanding mereka yang menghutangi, karena sejarah menunjukkan hutang bukan hanya aliran uang dari yang berlebihan kepada yang kekurangan, tapi juga bisa menjadi sarana untuk mengendalikan bahkan merampas kemerdekaan seseorang (kewajiban membayar hutang tanpa ampun adalah titik mula perbudakan) bahkan suatu negara. Sedangkan menurut Picketty, jika penggunaan hutang negara efisien, Aset Negara yang dibangun dari hutang akan sama nilainya dengan Harta Swasta berupa obligasi, plus kewajiban membayar bunga. Jika ingin negara bebas hutang, tebus lagi saja obligasi pemerintah melalui privatisasi aset negara, dan beban bunga yang dibayar pemerintah otomatis menjadi nilai sewa yang harus dibayar rakyat jika ingin menggunakannya. Jika tidak boleh berhutang, ya pajaki secukupnya pemebiayaan yang diperlukan. Atau bisa saja memberlakukan inflasi yang secara otomatis memotong nilai nominal hutang dan nilai obligasi yang ada.



       商品の詳細

Kekuatan buku-buku ini sekaligus menjadi kelemahannya. Pembaca bisa menganggap buku yang satu cemen dan buku yang lainnya njelimet. Tapi ketiga buku ini sudah mencapai tujuan penulisannya, memberikan informasi yang cukup untuk memberikan rasa percaya diri untuk ikut terlibat dalam percakapan tentang kebijakan ekonomi. Ilmu Ekonomi bukan ilmu pasti, kesimpulan-kesimpulannya yang kemudian dijadikan dasar penetapan kebijakan pemerintah dan mempengaruhi hajat hidup rakyatnya, perlu untuk terus diperdebatkan dan direvisi untuk menghasilkan efek/perubahan positif yang diinginkan. Ilmu Ekonomi tidak berdiri sendiri, sangat erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tercermin dalam sejarah di masa lalu. Kebijakan ekonomi pun sering berdampak jangka panjang, hingga perlu dilakukan berbagai simulasi untuk menguji setiap alternatif yang ada.

Debt, adalah buku ekonomi yang ditulis oleh seorang antropolog, David Graeber yang merasa harus menulis buku ini karena sudah "muak" dengan teori ekonomi yang tidak didukung dengan fakta sejarah. Khususnya tentang terciptanya uang kertas dan surat berharga, yang disebut ekonom sebagai penyederhanaan dari barter. Lalu berkembangnya sistem keuangan yang menjadi sangat rumit dan sulit dimengerti oleh orang kebanyakan, tapi rentan akan shocks. Setiap kali buku ekonomi baru terbit dan menyebut uang muncul karena barter, seorang antropolog rasanya ingin membenturkan kepala ke tembok saking putus asanya. Graeber menceritakan kisah uang yang timbul karena hutang di jaman mesopotamia. Awalnya transaksi perdagangan dilakukan dengan sistem kredit, pernyataan hutang ditulis dalam selembar kayu, yang dipatahkan menjadi dua keping, masing-masing diberikan kepada kreditor dan debitor berisi janji pembayaran. Setiap setengah keping kayu yang dijamin oleh raja akan penyelesaiannya, hingga dapat digunakan oleh rakyat dalam jual beli. Graeber juga mempertanyakan tentang ketimpangan manusia melihat hutang dan uang. Hutang (dalam hal ini hutang negara) adalah hal yang memalukan dan harus dibayar dalam kondisi apapun. Sedangkan kita tak pernah mempertanyakan asal muasal uang yang dimiliki seseorang. Negara harus membayar hutang, tak peduli kondisi ekonomi sedang turun dan angka pengangguran tinggi. Padahal hutang negara timbul karena pemerintah memilih meminjam uang dari mereka yang berpunya, yang mungkin memperolehnya karena warisan, korupsi, atau rent-seeking, ketimbang memajaki mereka (dalam hal hutang domestik),  lalu memaksa semua rakyatnya tanpa pandang bulu untuk memeras keringat bergotong royong melunasinya. 

Capital adalah buku ekonomi yang ditulis oleh Thomas Piketty, seorang ekonom Perancis yang  "pundung" pulang kampung dan meninggalkan pos sebagai profesor di universitas di Amerika. Alasan utamanya, kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari metode penelitan ekonomi di Amerika tidak meyakinkan, meskipun menggunakan metode ekonometrik yang mutakhir dan rumit, seringkali dilakukan dengan banyak pembatasan dan minim data, sehingga kadang hasilnya tidak lebih dari latihan salto otak, atau  yang disebut Graeber brain gymnastics. Sialnya, seringkali hasil salto otak ini dijadikan dasar kebijakan ekonomi oleh pemerintah. Metode penelitian yang penuh berisi cacing rumus matematika seringkali menjadi benteng tinggi yang sulit dilompati bagi orang kebanyakan untuk memahaminya, alih-alih mengkritisinya! Picketty menekankan ilmu ekonomi tidak bisa lepas dari disiplin ilmu lain, tapi karena pengaruhnya yang besar akan arah kebijkan suatu negara, ekonomi seakan menempati posisi elit. Padahal ekonomi berkaitan erat dengan sejarah, sosiologi dan ilmu politik. Picketty mengajak para ekonom untuk lebih membumi, melihat fakta sejarah dan data sekaligus meminta para antropolog, sosiolog dan politisi untuk tidak serta merta lari tunggang langgang jika menemukan rumus matematika dalam dialog kebijakan ekonomi!

Melihat usaha Grabaer dan Picketty, sudah sepantasnya setiap kita SADAR untuk belajar menjadi Ekonom Dadakan. Meninggalkan dialog mungkin baik karena menghindari konflik, tapi tidak memberikan penyelesaian. Konflik dan riak-riak kecil bisa ditekan sampai kemudian sistem yang ada kehilangan keseimbangan, dan bisa runtuh membawa banyak korban. Begitu pula untuk para Ekonom Tempaan, harus SABAR memberikan pemahaman yang cukup, sehingga dialog bisa berjalan dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang positif dan membangun. Bisa dengan penjelasan yang singkat tapi padat, atau penjelasan yang panjang dan detil. Setiap kita memiliki keterbatasan, dan ada kalanya sikap "jumawa" membuat kita buta akan keterbatasan kita sendiri, yang seringkali kelihatan nyata di mata orang yang kita anggap awam. Berlaku juga dalam dialog agama, keengganan belajar ekonomi berkaitan dengan rumus matematika yang rumit, sementara keengganan belajar agama karena malas diceramahi, apalagi komplit dengan gerimis butir hadits dan hujan ayat al-Quran. Mereka yang lebih paham harus bisa menjelaskan dengan sederhana, melalui keteladanan, bisa dengan meminimalisir atau sekalian membahas dengan detil dalil-dalil yang digunakan.

No comments:

Post a Comment