Thursday, September 29, 2016

The Price of Inequality oleh Joseph E. Stiglitz

Judul : The Price of Inequality
Penulis : Joseph E. Stiglitz
Jumlah Halaman : 523 halaman
Penerbit : W.W.Norton&Company, Inc.
Tahun : 2013
ISBN : 978-0-393-34506-3
Setelah beberapa waktu lalu saya membaca buku Debt: The First 5000 Years yang ditulis oleh David Graeber (Profesor dari London School of Economics, pencetus gerakan Occupy Wallstreet),
saya semakin tertarik membaca buku-buku yang berhubungan dengan geliat Amerika bangkit dari The Great Recession 2008-2009. Graber mempertanyakan paranoia terkait hutang dan kewajiban membayar hutang, terutama hutang dari negara-negara donor, dari sisi sejarah timbulnya hutang itu sendiri. Lalu saya melanjutkan membaca End This Depression Now yang ditulis Paul Krugman. Krugman memandang penyelesaian masalah pengangguran, yang menyengsarakan begitu banyak kalangan menegah AS adalah masalah terpenting dibandingkan kebijakan menahan inflasi maupun defisit anggaran. Baru kemudian saya membaca The Price of Inequality, yang menekankan masalah inequality atau kesenjangan yang sedemikian melebar di Amerika saat ini, sudah sangat menghawatirkan, sampai kepada taraf hilangnya kepercayaan warga negara terhadap hukum, pemerintah, bahkan demokrasi.

Joseph E. Stiglitz (peraih nobel ekonomi tahun 2001, chief economist Bank Dunia tahun 1997, dan penasehat ekonomi di masa kepresidenan Clinton tahun 1993), menuding kebijakan Alan Greenspan (Chairman FRB periode 1987-2006) memicu terjadinya bubble pada resesi 2008-2009 lalu. Menurut Stiglitz, lesunya ekonomi Amerika lebih dipicu oleh lemahnya makroekonomi karena penurunan aggregate demand yang kemudian ditindaklanjuti dengan penurunan suku bunga, dibarengi dengan penurunan pajak. Tingkat suku bunga yang rendah mendorong perusahaan maupun individu semakin memilih hutang untuk membiayai konsumsi dan investasinya. Selain itu, kebijakan deregulasi yang telah dilakukan sejak tahun 1999 turut memperburuk efek dari kebijakan The Fed, karena kemudian mendorong maraknya rent seeking  dimana pemerintah tidak secara langsung memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan besar, dan membiarkan iklim kompetisi yang mendorong menguatnya monopoli. Di sisi lain, ketatnya kebijakan fiskal untuk menekan defisit mengakibatkan penurunan investasi publik; pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, kalangan menengah yang sudah terbebani hutang, kehilangan pekerjaan (akibat keluarnya capital dari AS) pun semakin terpuruk karena tidak memiliki proteksi, unemployment benefit maupun asuransi kesehatan. 

Resesi Ekonomi kemudian ditindaklanjuti oleh Ben Bernanke (Chairman FRB periode 2007-2014) dengan kembali menurunkan suku bunga hingga mendekati 0%, sehingga institusi keuangan kolaps. Diperparah dengan dead lock politik yang mengakibatkan sulitnya mengeluarkan stimulus fiskal yang mencukupi, karena alasan menekan defisit anggaran. Menurut stiglitz, pada saat inilah warga Amerika menyadari betapa lebarnya jurang kesenjangan ekonomi negerinya. Sementara pemilik modal bisa dengan mudah mengalihkan dananya (yang diperoleh melalui rent seeking) ke negara lain yang lebih menguntungkan (plus menikmati rendahnya pajak, capital gain maupun dividen), pemerintah memilih menyelamatkan bank-bank besar tapi memaksa mereka kehilangan rumah mereka karena tidak sanggup melanjutkan cicilan. Golongan muda fresh graduates dihadapkan pada ketidakpastian dunia kerja, sambil menanggung beban student Loan yang harus dibayar. Golongan terbawah pun harus menghadapi kemyataan berkurangnya assistance atau bantuan pemerintah, terutama pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kondisi inilah yang mendorong bangkitnya warga amerika menuntut kesetaraan, bersatu karena merasa senasib sesuai slogan yang mereka teriakkan, we are the 99% melawan kebijakan yang melulu menguntungkan lapisan atas, 1% penduduk terkaya Amerika yang menguasai 35% dari total kekayaan negaranya.

The Great Recession 2008-2009, menurut Stiglitz, menujukkan kegagalan kebijakan ekonomi amerika, fiskal maupun moneter. Juga kegagalan pasar, karena sistem ekonomi yang tidak mendukung kompetisi usaha yang jujur dan adil. Both government and market failed. Kegagalan yang sulit untuk dikoreksi karena macetnya proses politik, dimana lobbyists  sangat aktif hingga mencengkram pemerintahan (istilah Stiglitz, captured politicians). Oleh karena itu, Stiglitz menyodorkan reformasi ekonomi dan reformasi politik di akhir tulisannya. Reformasi Ekonomi yang diusulkan Stiglitz diantaranya:

  1. Mengatur praktik insentive based compensation atau kompensasi berbasis insentif bagi eksekutif badan keuangan, karena sistem kompensasi ini mendorong pada penyelewengan laporan keuangan, ketidakhati-hatian dalam mengelola pemberian/pengelolalaan pinjaman, dan pada dasarnya tidak adil.  
  2. Memperbaiki regulasi pasar sehingga mendorong kompetisi yang jujur dan adil, memilah kembali program subsidi dan insentif ekonomi.
  3. Mengalihkan subsidi untuk investasi yang mendorong inovasi, menciptakan lapangan kerja, dan kesinambungan lingkungan.
  4. Memperbaiki regulasi kebangkrutan/pailit, sehingga lebih adil, terutama bagi individu.
  5. Mereformasi sistem perpajakan supaya bersifat progresif, mengeliminasi loophole peraturan perpajakan, menaikkan estate tax atau pajak harta, dan menaikkan pajak atas modal; capital and dividend tax.
  6. Memperluas assistance  atau bantuan pemerintah bagi golongan bawah, memperkuat belanja pendidikan dan kesehatan.
  7. Mendorong kebijakan moneter yang tidak hanya mementingkan stabilitas keuangan, tapi juga menjaga full employment atau menekan angka pengangguran pada persentasi wajar/natural.
  8. Mempertimbangkan trade Imbalance atau ketimpangan yang timbul akibat globalisasi ekonomi, dimana modal sangat likuid dan mobilisasinya tidak sebanding dengan kecepatan mobilisasi tenaga kerja mengakibatkan hilangnya pekerjaan (khususnya pekerjaan yang hanya menggunakan keterampilan rendah), dalam setiap kebijakan moneter.
Usulan teoritis yang cakupannya terlalu luas, karena menurut Stiglitz, permasalahan yang dihadapi juga sudah terlalu carut marut. Stiglitz menekankan, untuk sekarang ini, regulasi kompensasi berbasis insentif di lembaga keuangan, regulasi/undang-undang kepailitan dan penanganan kredit/agunan yang macet harus dibenahi terlebih dahulu.

Stiglitz juga menekankan, seluruh usulan diatas tidak akan pernah bisa dijalankan selama proses politik masih dikuasai oleh uang, melalui tangan-tangan politisi yang dikendalikan oleh 1% golongan atas Amerika. Masalah yang pelik untuk diselesaikan, karena melekat dengan sifat alamiah pemerintahan demokrasi itu sendiri. Teori median voter yang menentukan kebijakan publik, tidak berlaku dalam demokrasi dengan tingkat voter turnout yang rendah seperti di Amerika, 54% untuk pemilu presiden tahun 2012. Stiglitz bahkan menyarankan memberlakukan compulsory voting  seperti di Australia, Beligia dan Luxemburg yang memiliki voter turnout hampir 90%. Satu hal yang menurut saya sulit, karena kepercayaan publik akan demokrasi yang sudah melorot, alih-alih one person one vote kenyataan menunjukkan one dollar one vote

Entah karena saat membaca buku ini berbarengan dengan pemilu presiden di AS, saya merasa argumentasi dan rekomendasi yang ditulis Siglitz di buku ini menjadi inspirasi Hillary Clinton dalam kampanye-kampanyenya. Terakhir pada debat pertama, Senin 26 September lalu, Clinton menyindir Trump yang menginginkan penurunan pajak sebagai kebijakan Trump Up Trickle Down Theory yang tidak akan pernah berhasil. Stiglitz pun menyinggung teori ini, dan menurutnya, alih-alih uang yang menetes ke lapisan bawah, justru uang dari lapisan menengah dan bawah yang tersedot ke atas. Jika ada yang menetes ke bawah, justru hanya kebiasaan buruk konsumerisme yang ikut  menjangkiti lapisan menengah dan bawah penduduk Amerika sehingga mereka terlilit hutang. Clinton juga berbalik kontra terhadap keikutsertaan Amerika di TPP (Tran-Pacific Partnership) yang sebelumnya dia dukung, karena pengaruh pandangan Stiglitz juga? (Stiglitz pernah menuliskan ancaman globalisasi dalam bukunya Globalization and its discontents. Seluruh dunia kini mengawasi pemilu presiden di AS sambil cemas jika Trump terpilih. Kecemasan akan kemana arah globalisasi ekonomi sudah terasa, terutama di Jepang yang juga mengafiliasi ke TPP, karena baik Trump maupun Clinton sudah cenderung akan menarik Amerika dari kesepakatan TPP. Satu hal yang menjadi sorotan adalah, kontrasnya pengaruh rencana kebijakan Trump dan Clinton terhadap inequality  atau kesenjangan di Amerika yang menjadikan pemilu Amerika kali ini menarik bagi saya, apakah the 99% akan memenangkan pemilu ini? atau the 1% akan tetap mencengkram politik Amerika? 

2 comments:

  1. dimana-mana politik masih dikuasai oleh uang....jadi penasaran ni mbak pengen baca bukunya juga...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, mamahnya demokrasi aja begitu gimana kita yang demokrasinya masih ABG :)

      Delete