わが子に「お金」をどう教えるか Agar anak paham filosofi uang
Judul : わが子に「お金」をどう教えるか
Agar Anak Paham Filosofi Uang
Penulis : Yoshimitsu Shinogami
Jumlah Halaman : 233
Penerbit : Chuukou Sinsho
Tahun 2008
ISBN 978-4-12-150273-5
|
Selesai membaca dan menulis tentang bagian pendahuluan buku ini, saya sangat penasaran untuk menemukan Filosofi Uang yang dimaksud penulis, sampai-sampai saya ngebut membaca 2 bab awal buku ini tanpa berhenti. Bab I tentang Fakta bahwa setiap anak tidak dapat memilih orangtua berdasarkan jenis pekerjaan maupun tingkat penghasilan, dan Bab II tentang Apakah ada sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang?. Ternyata kedua bab ini meleset jauh dari harapan saya, karena sebagian besar isinya hanyalah upaya penulis meyakinkan pembaca untuk tidak membuang uang, waktu (terutama waktu anak) dan upaya, bahkan sampai menggadaikan perasaan anak, untuk memaksa mereka mengambil ujian masuk sekolah menengah bergengsi dengan alasan demi masa depan anak yang cemerlang. Sebagian besar ulasan yang dikemukakan penulis, saya sudah banyak menemukannya di sumber lain.
Hal yang perlu dicatat adalah, masih kuatnya pengelompokan status sosial dalam masyarakat Jepang dimana pekerja profesional (dokter dan pengacara) dianggap sangat terpandang (sekaligus komersil!) dibandingkan karyawan (salaryman), pengusaha, apalagi pegawai negeri! Pengelompokan status sosial ini juga berlaku pada anak-anak, sampai-sampai penulis menceritakan pengalamannya "mencuri dengar" percakapan gadis-gasis SMP di dalam kereta yang menggunjingkan temannya yang diangkap terlalu "maksa" ikut les ini itu demi lolos ujian ke sekolah bergengsi (disindir dengan nama お嬢様学校 atau sekolah prinses!) padahal ayahnya hanyalah seorang karyawan biasa.
Kedua bab diatas memberikan Tips ke-1 (yang tidak ada hubungannya dengan uang) yang dapat langsung dipraktikan: membiasakan anak membaca koran, mengetahui berbagai macam kejadian, dengan tujuan untuk melatih ketajamannya menganalisis situasi dan kondisi. Jaman kini, informasi membanjiri keseharian kita, keahlian untuk memilah dan memilih informasi yang benar dan relevan sangat diperlukan demi pengambilan keputusan yang tepat. Menjadi pribadi yang cerdas dan unggul itu penting, tapi tidak dapat dibentuk melalui pola belajar, mengulang dan menguji seperti yang berlaku saat ini, tapi berdasarkan latihan. Tantangan masa depan adalah kesempatan hanya datang pada manusia yang menggunakan "kemanusiaannya" untuk bertahan hidup. Manusia yang pintar akademis tapi tidak memiliki kemampuan analisis yang baik akan tergilas, karena pekerjaan yang akan tersisa kelak adalah 1) pekerjaan kasar yang akan dilakukan oleh mesin atau tenaga kerja murah atau 2) pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan manusia saja. Ketajaman sekaligus kehalusan indera dan perasaan manusia inilah yang menjadi alat manusia bertahan dan melanjutkan hidup. Sayangnya, skill ini tidak bisa dibeli dengan uang (melalui berbagai macam les/bimbel) melainkan terbentuk melalui latihan dan tempaan hidup, terutama dengan menemui dan membina hubungan dengan banyak manusia, juga mengalami jatuh bangun dalam kegagalan.
Bab III tetang Menjawab Pertanyaan Anak tentang Uang, cukup menarik, tapi tidak juga menyinggung tentang filosofi uang. Seringkali anak-anak menganggap orang kaya itu hebat, atau jika belajar keras maka kelak akan menjadi orang kaya, atau orang kaya dapat membeli barang mahal (harga mahal identik dengan kualitas baik), dan lain sebagainya. Penulis mengutip tulisan Natsumi Soseki tentang orang kaya yang dikenal dengan sankaku jutsu 三角術: 義理を欠く、人情を欠く、恥を欠く. Artinya orang kaya itu kehilangan 3 hal dalam hidupnya; tanggung jawab, kemurahan hati, dan rasa malu. Anak-anak belajar keras bukan untuk menjadi orang kaya, tapi untuk memuaskan rasa ingin tahu dan melengkapi diri dengan keterampilan untuk bertahan hidup. Begitu juga jika kelak mereka bekerja. Bekerja dan menerima gaji untuk kelangsungan hidup adalah lumrah, tapi bekerja untuk mengumpulkan uang dan memupuk kekayaan hanya menghasilkan orang kaya tanpa rasa tanggung jawab, tanpa hati dan tanpa rasa malu. Cukupkanlah kebutuhan lalu gunakanlah selebihnya untuk berderma, bersedekah! Bab ini memberikan Tips ke-2, juga bisa langsung dipraktikan, yaitu mengajak anak memikirkan kesusahan orang lain, bahkan mengajaknya membantu memecahkan masalah orang lain, atau bersedekah semampunya.
Bab IV tentang Pendidikan Dasar di Rumah/Keluarga, kembali berhubungan dengan status sosial orangtua. Menurut saya, penulis terkesan tidak netral. Jelas penulis condong "memuja muji" orang tua dari kalangan pengusaha yang turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Penulis juga sadar akan hal ini, dan berkilah bahwa cara pandangnya memang dipengaruhi lingkungan tempat anak-anak didiknya berada, yaitu lingkungan keluarga terpandang dengan usah turun temurun tersebut. Menurut penulis, nilai-nilai dalam keluarga mereka sangat luhur, terutama yang berkaitan dengan uang, sesuatu yand dimaksud penulis sebagai Filosofi Uang, bahwa uang adalah titipan dari nenek moyang yang harus dikelola dengan baik, jangan sampai berkurang, untuk kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya anak-anak dari kalangan keluarga ini sangat hati-hati dalam menggunakan uang, jangan sampai mubazir, apalagi untuk dipakai berfoya-foya. Filosofi uang ini juga diterapkan oleh sebagian besar pengusaha/enterpreuneur, kondisi usaha selalu dinamis dan berubah sehingga tidak ada jaminan selamanya hasil usaha bisa membiayai gaya hidup tertentu, jadi sangat penting untuk membatasi diri dan menggunakan uang seperlunya. Mungkin itulah sebabnya prinsip-prinsip pendidikan anak tentang uang selalu mengedepankan enterpreneurship dibanding kecakapan finansial lain seperti penganggaran maupun investasi. Bab ini memberikan Tips ke-3 (terakhir) yang bisa digunakan saat orangtua sudah menjalankan kebijakan uang saku, mintalah dan telitilah kwitansi penggunaan uang saku sebelum memberikan uang saku bulan berikutnya. Gunanya adalah membiasakan anak mengingat harga barang yang dibelinya sebagai bahan analisis untuk penggunaan uang saku bulan berikutnya, sekaligus sebagai "alat pantau" orang tua tentang apa saja yang dilakukan anak, misalnya jadi tau anak pergi kemana, beli apa dan lain sebagainya. Tentu saja kelak saat mereka bekerja mereka pun tau bahwa kwitansi akan selalu menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban penggunaan uang atau anggaran.
Aku suka kasih motivasi ke anak. Supaya rajin belajar biar kelak bisa sekolah keluar negeri, dan ujung2 nya gampang cari kerja, bisa kaya dan bisa jalan2 kemana mereka suka....
ReplyDeleteSalah gak sih, krn kadang memotivasi anak u/rajin belajar dan gak menghamburkan uang u/mainan dan makanan kan agak susah ya klo tanpa contoh yg konkrit---> kelak kaya :)
gak salah kak, jadi orang kaya juga ga salah. jadi bisa berderma kan. cuma memang ga ada jaminan orang pinter rajin belajar,jujur penuh integrasi pasti jadi orang kaya :)
DeleteAku suka kasih motivasi ke anak. Supaya rajin belajar biar kelak bisa sekolah keluar negeri, dan ujung2 nya gampang cari kerja, bisa kaya dan bisa jalan2 kemana mereka suka....
ReplyDeleteSalah gak sih, krn kadang memotivasi anak u/rajin belajar dan gak menghamburkan uang u/mainan dan makanan kan agak susah ya klo tanpa contoh yg konkrit---> kelak kaya :)