Mengapa hidup para ibu di Jepang begitu menyiksa? 母親はなぜ生きづらいのか Rika Kayama
Judul : 母親はなぜ生きづらいか Mengapa hidup sebagai seorang ibu begitu menyiksa? Penulis : Rika Kayama Penerbit : Koudansha, 2010 Jumlah halaman : 188 ISBN : 78-4-06-288044-2 |
Buku yang dibaca cama cimi bareng dengan Debt dan Random Walk down Wallstreet, ternyata paling duluan selesai. Ditulis oleh seorang psikolog yang banyak menangani pasien ibu yang memiliki masalah dalam membesarkan anak.
Ternyata nafas buku ini bukan parenting, melainkan feminisme. Dimulai dengan gugatan pemberitaan media kasus narkoba 2 orang selebritis dalam waktu berdekatan, mengapa yang banyak disorot adalah tersangaka yang wanita dan juga seorang ibu, "dimana nuraninya sebagai seorang ibu?" sementara tersangka lain yang seorang laki-laki tidak "dihakimi" terkait nuraninya sebagai seorang ayah.
Buku ini menelusuri perubahan peran ibu dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Di masa samurai Edo (1600-1868), pendidikan anak adalah urusan ayah dan kakek nenek dari keluarga ayah karena anak merupakan penerus/pewaris nama keluarga. Khususnya anak pertama laki-laki yang mutlak menjadi ahli waris. Anak perempuan atau anak laki-laki kedua, ketiga dan seterusnya bukan ahli waris, tapi menjadi tanggung jawab anak laki-laki tertua. Peran ibu hanyalah sebatas melahirkan, dan tentu diharapkan melahirkan anak laki-laki. Selebihnya hanya mengurusi pekerjaan rumah tangga dan melayani mertua dan keluarga suami.
Satu lagi yang perlu dicatat adalah, pada masa ini "orang tua" itu bukan hanya orangtua kandung tapi juga orangtua pemberi nama dan orangtua yang dititipi anak untuk dididik, biasanya sekitar 2 tahun. Berbeda dengan anggapan "menitip anak" supaya merasakan tingkat hidup yang berbeda, menurut penulis sebenarnya proses saling menitipkan anak ini untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa orangtua lain pun menyayangi dan memperhatikan mereka, juga para orangtua juga "dipaksa" untuk memperlakukan anak orang lain seperti anaknya sendiri. Inilah mungkin yang disebut "it takes a village to raise a child".
Beganti ke masa Meiji (1868-1912), seluruh tatanan masyarakat di masa Edo "dibuang" dan digantikan dengan pola barat. Anak-anak dididik oleh orangtua dan setiap anak memiliki hak yang sama. Setiap anak harus siap terjun ke dalam persaingan untuk memiliki kehidupan yang layak di masa yang akan datang. Di masa ini, para pemikir kebijakan pemerintah juga menetapkan "spesialisasi" tugas para ayah adalah bekerja mati-matian di luar rumah dan tugas para ibu adalah mati-matian mendidik anak-anak hingga bisa menang dalam persaingan. Masa ini disambut gembira para ibu yang kini bisa lebih berperan dalam pendidikan anak, bahkan ada istilah ibu yang bangga "anak saya dibesarkan oleh tangan saya sendiri!".
Peran ibu yang sangat besar ini terus menerus menguat, bahkan di masa showa (1926-1989) saat Jepang bangkit dari kekalahan Perang Dunia II mulai muncul image "ibu ideal", yang diantaranya memiliki ciri-ciri berikut:
- Melahirkan banyak anak
- Selalu ada di rumah
- Menghindari kemajuan teknologi yang memudahkan pekerjaan rumah tangga
- Selalu mengidangkan makanan homemade
- Pandai mengendalikan emosi dan perasaan
- Turut memberikan sumbangsih dalam ekonomi keluarga
- Tidak goyah semata karena penilaian sekitar
- Selamanya mengayomi anak-anak sebagai seorang ibu, berapapun usia anak.
Menurut penulis, tekanan image ideal seorang ibu ini turut berpengaruh sehingga angka fertilitas (jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita) Jepang turun. Perasaan "tidak sanggup" memenuhi tuntutan inilah yang mengakibatkan penulis sendiri menunda memutuskan memiliki anak, dan ketika mulai mempertimbangkan memiliki anak, kondisi fisik sudah tidak memungkinkan. Di sisi lain penulis juga menekankan, meski saya merasa argumennya keluar konteks, melahirkan dan memiliki anak tidak mengurangi nilai perempuan. Image ibu ideal ini menciptakan tekanan luar biasa tidak hanya bagi para ibu, baik ibu rumah tangga maupun ibu bekerja, tapi juga wanita yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak.
Sebagai saran solusi, penulis menekankan alih-aih membuat kampanye work life balance, yang sebaiknya diubah atau dihilangkan adalah "romantisme" para laki-laki tentang sosok ibu ideal. Bukan juga dengan merumuskan kebijakan cuti melahirkan (baik bagi ibu maupun ayah) atau memotong jam kerja para ibu/ayah tapi juga menciptakan aturan kerja yang fleksibel sehingga setiap orang mudah mengambil cuti/libur dengan alasan keluarga, bukan hanya anak. Sehingga baik yang menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak, dapat mengambil cuti dengan mudah dan tidak menciptakan kesenjangan yang mengakibatkan maternity harrassment (harrassment terhadap ibu yang cuti melahikan).
Di akhir buku ini, penulis menjelaskan bahwa buku ini memang ditulis untuk pembaca laki-laki. Beberapa bab dari buku ini diambil dari liputan acara televisi NHK tentang sejarah Jepang dan perubahan image seorang ibu Jepang.
Menarik sekali bukunya, dengan reviewnya yang menarik. Ini belum aada versi Bahasa Indonesia ya, mba? Menarik :) Makasih sudah berbagi, mba
ReplyDeleteJudulnya itu mbak yang bikin penasaran. Mungkin belum ya, tapi saya gak tau juga, ini saya pinjem dari perpus lokal. Makasih dah mampir mbak
DeleteSepertinya menarik bukunya. Susah juga ya kalau harus hidup seperti di masa Perang Dunia 2 dulu ...
ReplyDeleteIya sekarang sudah beda zaman ya mbak :)
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteSaya sangat tertarik dengan jepang, all about japan dan jadi terasa masuk ke dalam buku ini. Terima kasih sudah share Shujindakara San :)
ReplyDelete