ママは働いたらもっとスゴイぞ!Kalau Ibu juga bekerja tentu lebih hebat!
Buku terbitan 2007 dtulis oleh 和田清華 (Sayaka Wada) yang memang motivator, jadi sebagian besar pesan2-pesanya tidak terlalu baru. Mungkin karena beliau juga seorang ibu dengan 2 anak, tulisannya terasa lebih tepat sasaran. Sambil baca buku ini saya jadi secara tidak sadar menyamakan penulisnya dengan aktivis ibu bekerja 勝間和代 (Kazuyo Katsuma). Tapi belakangan ibu ini sering banget ngomong di TV...ketimbang aktivis mungkin lebih cocok dibilang celebritis ya.
Kazuyo Katsuma pernah bilang kalo para ibu yang mengambil cuti setelah melahirkan (育児休業中), biasanya selama setahun, mereka sering merasa khawatir setelah vakum sekian lama pas nanti kembali ke tempat kerja gak akan bisa berkinerja seperti sebelumnya. Nah, blio bilang, ibu yang cuti itu seperti seorang pitcher baseball ternama (saya lupa namanya) yang kalau tidak sedang bertanding atau berlatih, tangannya harus dibebat dan tak banyak digunakan. Begitu bebat dibuka, maka tenaga yang keluar akan begitu besar selayaknya sebuah dam yang dibuka pintu airnya. Jadi tidak usah kuatir, malah tingkat efisiensi kerja akan lebih meningkat dari sebelumnya. Saya mah percaya gak percaya siy...
Di buku ini, penulis juga sedikit banyak menjelaskan mengapa seorang Ibu rumah tangga yang kemudian "come back" bisa lebih efisien di dunia kerja. Antara lain karena selama menjalani cuti tersebut sebenarnya secara tidak sadar para ibu dikondisikan untuk berlatih time management dan penyesuaian dengan lingkungannya yang baru. Hebat bener yah...secara gak sadar aja bisa makin efisien...apalalagi secara sadar dong hehehe. Nah, untuk semakin memaksimumkan masa cuti dan "pelatihan" tidak langsung inilah perlu dirumuskan langkah-langkah yang harus diambil. Langkah-langkah tersebut diuraikan menjadi 7 bab dalam buku ini yang masing-masing memiliki keyword; Reset, Setup, Time Management, Family, Childcare, Balance, dan Happy.
Yang dimaksud dengan Reset adalah menyetel pola pikir menjadi lebih positif dan mantap mengayunkan langkah ke depan. Salah satu sentilan penting buat saya adalah adanya jebakan2 yang khusus hanya ada dalam ritme sehari2 Ibu Rumah Tangga; salah satunya adalah timbulnya kebiasaan jelek menjadikan anak sebagai alasan untuk tidak sempat memulai upaya mencapai keinginan atau mimpi-mimpi pribadi seorang ibu. Selain itu juga, dalam memutuskan kapan waktu yang tepat untuk kembali ke dunia kerja yang mungkin bisa setahun bahkan ada yang sampai 3 tahun. Menurut penulis, tidak masalah asalkan selama 3 tahun itu setahap demi setahap ibu terus mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja kembali.
Kemudian, Setup yaitu memulai kebiasaan-kebiasaan baik yang nanti akan berguna sekali ketika kita kembali ke dunia kerja. Misalnya, membiasakan menyusun agenda harian dan mencatat hal2 (yang menurut kita) penting yang ditemui setiap hari, menyempatkan membaca buku atau setidaknya kalau tidak sempat membaca, maka belilah buku yang kita pikir menarik untuk dibaca di kemudian hari, menghentikan kebiasaan ngemil (hhh...beraats!), menyempatkan memeriksakan kesehatan dan gigi (katanya kalo dah kerja gak sempet lhooo) dan kalau membeli baju baru pertimbangkan baju yang mau dibeli ini nantinya bisa dipake buat pergi kerja gak hehehe....
Mengenai Time Management, saran-saran yang ditulis sepertinya sudah sering saya temukan di buku-buku lain dan dapat diterapkan langsung oleh para ibu bekerja. Beberapa hal yang menarik adalah membiasakan diri membuat tenggat dan berusaha menyelesaikan pekerjaan beberapa hari lebih cepat dari tenggat tersebut, jaga-jaga kalau tiba-tiba anak sakit atau keperluan keluarga yang mengharuskan ibu bolos kerja. Juga membiasakan menjawab semua email, surat, kartu pos, fax dll di hari yang sama kita menerima email/surat tersebut. Kemudian kalau ada masalah keluarga/anak, diusahakan hanya dipikirkan dalam 30 menit saja lalu ambilah keputusan, karena kalau berpikir lebih dari 30 menit dikhawatirkan sudah bukan sedang berpikir lagi...tapi sedang melamun!! duh....ini niy saya banget!
Dalam bab tentang Family, penulis mengajak para ibu untuk menjadikan keluarga dan keluarga besar kita sebagai "sekutu" yang bukan saja mendukung sepenuhnya keputusan ibu untuk kembali bekerja, tapi juga bersenang hati membantu seandainya di kemudian hari ibu bekerja mengalami kesulitan. Yang perlu dilakukan sebenarnya hal2 yang kecil saja, misalnya kalau kebetulan tinggal jauh dengan orang tua atau mertua, maka biasakanlah berkirim kabar, foto atau kalau perlu ber-video call. Juga biasakanlah merencanakan liburan dan silaturahmi dengan keluarga, juga jangan lupa menjadwalkan kencan dengan suami, berdua sajah...suit suiiit! kalo di Indonesia hal seperti kayaknya gampang ya, kalau di Jepang yang berbudaya "sungkan" dan "menjaga jarak" sepertinya cukup memerlukan keberanian kali ya...
Juga mengenai childcare, banyak saran-saran yang sudah pernah saya baca sebelumnya, misalnya belajar mempercayai orang lain untuk merawat anak kita selama kita bekerja (tentunya setelah kita melakukan cukup survey dan menilai kelayakan baby sitter maupun daycare-nya). Mungkin biaya daycare ini memangkas sebagian besar gaji ibu, sehingga ibu berpikir buat apa cape2 kerja gajinya habis untuk daycare? penulis mengingatkan, walaupun habis toh hal itu tidak lantas menghapus fakta bahwa ibu sudah bekerja keras, memanfaatkan ilmu dan potensi dirinya, juga bisa mandiri secara ekonomi. Setuju deh, Bu!
Bab yang saya pikir paling penting dalam buku ini adalah tentang Balance. Sayang dalam menjawab pertanyaan ketika ada dilema, mana yang prioritas lebih tinggi, keluarga atau pekerjaan? jawaban penulis tidak segamblang jawaban2 di bab2 yang lain. Penulis hanya menjelaskan bahwa pada saat mulai bekerja hal itu tidak usah dipikirkan dulu, lebih baik jalani saja sehingga secara alami batas toleransi sejauh mana pekerjaan mempengaruhi urusan keluarga, dan juga sebaliknya, dapat terbentuk secara alamiah. Ngerti juga siy, penulis pastinya menyadari bahwa secara naluriah pasti seorang ibu memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan. Tapi ada kalanya ibu tidak memiliki 100 persen kendali dalam memutuskan urusan pekerjaan sehingga kadang2 kesannya urusan pekerjaan lebih dikedepankan, kalau begitu pasti ibu jadi sering merasa tertekan karena merasa bersalah seakan2 menomorduakan keluarga....akhirnya pekerjaan terasa membebani keluarga dan urusan keluarga menghambat kemajuan pekerjaan...menyiksa sekali pastinya ya. Oleh karena itu, di akhir bab ini penulis menekankan bahwa Ibu sebaiknya menyadari bahwa perasaan seseorang tidak dikendalikan oleh keadaan di sekitarnya, jika kondisi yang sama menimpa dua orang berbeda belum tentu reaksi kedua orang itu sama, jadi selalu ada celah untuk merasa lebih baik dengan memilih untuk berpikir positif.
Bab terakhir, Happy!!. Hal yang perlu dicatat, Ideal = Bahagia itu adalah konsep yang salah. Pertama, yang ideal itu seperti apa sulit juga dirumuskan secara objektif. Kedua, untuk mencapai hal yang ideal itu sangat sulit, bisa-bisa gak akan bahagia-bahagia dan hanya menghabiskan energi aja dong. Ketiga, sudah mencapai ukuran ideal pun belum tentu merasa bahagia untuk selama2nya. Juga kita tidak bisa mengandalkan orang lain untuk membuat kita bahagia, walaupun pas melamar suami kita berjanji, "sayang, aku akan membahagiakanmu...". Seandainya suami kita sudah berdiri di puncak gunung kebahagian dan berusaha menggapai kita, kalau kita tidak mengulurkan tangan padanya dan berusaha mendekat kepada kebahagiaan itu sendiri ya gak akan sampe dong ya. Intinya, berusaha bersama untuk berbahagia. Juga menyadari satu hal, kebahagiaan itu justru hanyalah hal-hal kecil yang sederhana...yang terjadi begitu saja setiap hari di sekitar kita...hanya saja kita tidak selalu peka untuk merasakan dan mensyukurinya.
Kazuyo Katsuma pernah bilang kalo para ibu yang mengambil cuti setelah melahirkan (育児休業中), biasanya selama setahun, mereka sering merasa khawatir setelah vakum sekian lama pas nanti kembali ke tempat kerja gak akan bisa berkinerja seperti sebelumnya. Nah, blio bilang, ibu yang cuti itu seperti seorang pitcher baseball ternama (saya lupa namanya) yang kalau tidak sedang bertanding atau berlatih, tangannya harus dibebat dan tak banyak digunakan. Begitu bebat dibuka, maka tenaga yang keluar akan begitu besar selayaknya sebuah dam yang dibuka pintu airnya. Jadi tidak usah kuatir, malah tingkat efisiensi kerja akan lebih meningkat dari sebelumnya. Saya mah percaya gak percaya siy...
Di buku ini, penulis juga sedikit banyak menjelaskan mengapa seorang Ibu rumah tangga yang kemudian "come back" bisa lebih efisien di dunia kerja. Antara lain karena selama menjalani cuti tersebut sebenarnya secara tidak sadar para ibu dikondisikan untuk berlatih time management dan penyesuaian dengan lingkungannya yang baru. Hebat bener yah...secara gak sadar aja bisa makin efisien...apalalagi secara sadar dong hehehe. Nah, untuk semakin memaksimumkan masa cuti dan "pelatihan" tidak langsung inilah perlu dirumuskan langkah-langkah yang harus diambil. Langkah-langkah tersebut diuraikan menjadi 7 bab dalam buku ini yang masing-masing memiliki keyword; Reset, Setup, Time Management, Family, Childcare, Balance, dan Happy.
Yang dimaksud dengan Reset adalah menyetel pola pikir menjadi lebih positif dan mantap mengayunkan langkah ke depan. Salah satu sentilan penting buat saya adalah adanya jebakan2 yang khusus hanya ada dalam ritme sehari2 Ibu Rumah Tangga; salah satunya adalah timbulnya kebiasaan jelek menjadikan anak sebagai alasan untuk tidak sempat memulai upaya mencapai keinginan atau mimpi-mimpi pribadi seorang ibu. Selain itu juga, dalam memutuskan kapan waktu yang tepat untuk kembali ke dunia kerja yang mungkin bisa setahun bahkan ada yang sampai 3 tahun. Menurut penulis, tidak masalah asalkan selama 3 tahun itu setahap demi setahap ibu terus mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja kembali.
Kemudian, Setup yaitu memulai kebiasaan-kebiasaan baik yang nanti akan berguna sekali ketika kita kembali ke dunia kerja. Misalnya, membiasakan menyusun agenda harian dan mencatat hal2 (yang menurut kita) penting yang ditemui setiap hari, menyempatkan membaca buku atau setidaknya kalau tidak sempat membaca, maka belilah buku yang kita pikir menarik untuk dibaca di kemudian hari, menghentikan kebiasaan ngemil (hhh...beraats!), menyempatkan memeriksakan kesehatan dan gigi (katanya kalo dah kerja gak sempet lhooo) dan kalau membeli baju baru pertimbangkan baju yang mau dibeli ini nantinya bisa dipake buat pergi kerja gak hehehe....
Mengenai Time Management, saran-saran yang ditulis sepertinya sudah sering saya temukan di buku-buku lain dan dapat diterapkan langsung oleh para ibu bekerja. Beberapa hal yang menarik adalah membiasakan diri membuat tenggat dan berusaha menyelesaikan pekerjaan beberapa hari lebih cepat dari tenggat tersebut, jaga-jaga kalau tiba-tiba anak sakit atau keperluan keluarga yang mengharuskan ibu bolos kerja. Juga membiasakan menjawab semua email, surat, kartu pos, fax dll di hari yang sama kita menerima email/surat tersebut. Kemudian kalau ada masalah keluarga/anak, diusahakan hanya dipikirkan dalam 30 menit saja lalu ambilah keputusan, karena kalau berpikir lebih dari 30 menit dikhawatirkan sudah bukan sedang berpikir lagi...tapi sedang melamun!! duh....ini niy saya banget!
Dalam bab tentang Family, penulis mengajak para ibu untuk menjadikan keluarga dan keluarga besar kita sebagai "sekutu" yang bukan saja mendukung sepenuhnya keputusan ibu untuk kembali bekerja, tapi juga bersenang hati membantu seandainya di kemudian hari ibu bekerja mengalami kesulitan. Yang perlu dilakukan sebenarnya hal2 yang kecil saja, misalnya kalau kebetulan tinggal jauh dengan orang tua atau mertua, maka biasakanlah berkirim kabar, foto atau kalau perlu ber-video call. Juga biasakanlah merencanakan liburan dan silaturahmi dengan keluarga, juga jangan lupa menjadwalkan kencan dengan suami, berdua sajah...suit suiiit! kalo di Indonesia hal seperti kayaknya gampang ya, kalau di Jepang yang berbudaya "sungkan" dan "menjaga jarak" sepertinya cukup memerlukan keberanian kali ya...
Juga mengenai childcare, banyak saran-saran yang sudah pernah saya baca sebelumnya, misalnya belajar mempercayai orang lain untuk merawat anak kita selama kita bekerja (tentunya setelah kita melakukan cukup survey dan menilai kelayakan baby sitter maupun daycare-nya). Mungkin biaya daycare ini memangkas sebagian besar gaji ibu, sehingga ibu berpikir buat apa cape2 kerja gajinya habis untuk daycare? penulis mengingatkan, walaupun habis toh hal itu tidak lantas menghapus fakta bahwa ibu sudah bekerja keras, memanfaatkan ilmu dan potensi dirinya, juga bisa mandiri secara ekonomi. Setuju deh, Bu!
Bab yang saya pikir paling penting dalam buku ini adalah tentang Balance. Sayang dalam menjawab pertanyaan ketika ada dilema, mana yang prioritas lebih tinggi, keluarga atau pekerjaan? jawaban penulis tidak segamblang jawaban2 di bab2 yang lain. Penulis hanya menjelaskan bahwa pada saat mulai bekerja hal itu tidak usah dipikirkan dulu, lebih baik jalani saja sehingga secara alami batas toleransi sejauh mana pekerjaan mempengaruhi urusan keluarga, dan juga sebaliknya, dapat terbentuk secara alamiah. Ngerti juga siy, penulis pastinya menyadari bahwa secara naluriah pasti seorang ibu memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan. Tapi ada kalanya ibu tidak memiliki 100 persen kendali dalam memutuskan urusan pekerjaan sehingga kadang2 kesannya urusan pekerjaan lebih dikedepankan, kalau begitu pasti ibu jadi sering merasa tertekan karena merasa bersalah seakan2 menomorduakan keluarga....akhirnya pekerjaan terasa membebani keluarga dan urusan keluarga menghambat kemajuan pekerjaan...menyiksa sekali pastinya ya. Oleh karena itu, di akhir bab ini penulis menekankan bahwa Ibu sebaiknya menyadari bahwa perasaan seseorang tidak dikendalikan oleh keadaan di sekitarnya, jika kondisi yang sama menimpa dua orang berbeda belum tentu reaksi kedua orang itu sama, jadi selalu ada celah untuk merasa lebih baik dengan memilih untuk berpikir positif.
Bab terakhir, Happy!!. Hal yang perlu dicatat, Ideal = Bahagia itu adalah konsep yang salah. Pertama, yang ideal itu seperti apa sulit juga dirumuskan secara objektif. Kedua, untuk mencapai hal yang ideal itu sangat sulit, bisa-bisa gak akan bahagia-bahagia dan hanya menghabiskan energi aja dong. Ketiga, sudah mencapai ukuran ideal pun belum tentu merasa bahagia untuk selama2nya. Juga kita tidak bisa mengandalkan orang lain untuk membuat kita bahagia, walaupun pas melamar suami kita berjanji, "sayang, aku akan membahagiakanmu...". Seandainya suami kita sudah berdiri di puncak gunung kebahagian dan berusaha menggapai kita, kalau kita tidak mengulurkan tangan padanya dan berusaha mendekat kepada kebahagiaan itu sendiri ya gak akan sampe dong ya. Intinya, berusaha bersama untuk berbahagia. Juga menyadari satu hal, kebahagiaan itu justru hanyalah hal-hal kecil yang sederhana...yang terjadi begitu saja setiap hari di sekitar kita...hanya saja kita tidak selalu peka untuk merasakan dan mensyukurinya.
Comments
Post a Comment