Radical Homemakers: Reclaiming Domesticity from a Consumer Culture


Judul Buku : Radical Homemakers
Reclaiming Domesticity from a Consumer Culture
Penulis : Shannon Hayes
Penerbit : Left to Write Press
Cetakan : I, 2010
Jumlah Halaman : 300
ISBN : 978-0-9794391-1-7
 
Bagian pertama buku ini memaparkan sejarah homemaking-pekerjaan rumahtangga yang  kini kita kenal sebagai domain housewife-ibu rumah tangga. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke-13 di Eropa, istilah housewife adalah pasangan seorang husband, yang berasal dari kata house dan bounded. Pasangan suami istri yang secara strata sosial tidak termasuk ke dalam golongan bangsawan aristocrats maupun petani/penggarap peasantry (hal 62). Mereka bekerja sama mengelola aset mereka berupa tanah, rumah, lahan pertanian dan ternak untuk kelangsungan hidup mereka. Sebuah alternatif gaya hidup yang kini menjadi pilihan sekaligus sedang berusaha dibangkitkan kembali oleh para Radical Homemakers melalui tahapan-tahapan yang dibahas secara rinci pada bagian akhir buku.

Ketika revolusi industri dimulai, para suami yang mulai bekerja di pabrik-pabrik menjadi yang pertama kehilangan keterampilan homemaking yang kemudian harus dialihkan ke tangan para istri. Betty Friedan dalam bukunya Feminine Mistique menekankan bahwa nilai tertinggi dan komitmen penuh perempuan yang sesungguhnya adalah menggunakan seluruh sisi femininitas dalam dirinya untuk megurus keluarga dan  mengelola rumah tangga. Sayangnya, tugas-tugas ini kemudian diambil alih hampir seluruhnya oleh korporasi yang memasarkan jasa pemenuhan nutrisi keluarga, perawatan anak dan lansia, bahkan pekerjaan sehari-hari rumah tangga. Akhirnya para istri pun kehilangan keterampilan homemaking  dan perannya tak lebih dari sebagai konsumen yang hanya tinggal memilih suatu produk dan membelanjakan uang saja, tanpa melibatkan proses kreatif. Akibatnya, sebagian besar mereka merasakan kekosongan walaupun keseharian mereka sangat sibuk. Kekosongan yang disebut Betty Friedan sebagai housewife sydrome, yang dianalogikan sebagai perasaan seperti "burung dalam sangkar".


Di sisi lain, sesama mereka yang memilih berkarir dan berjuang untuk meniti anak tangga tertinggi corporate ladder juga tidak bernasib lebih baik. Dominasi korporasi dalam sistem ekonomi yang bersifat ekstraktif, pada suatu titik tertentu akan membenturkan perempuan pada glass ceiling, langit-langit kaca, ketika mereka dihadapkan pada pilihan untuk terus berkarir atau memenuhi naluri mereka untuk merawat anak-anak, suami, atau orangtua yang sudah mulai sepuh dan sakit-sakitan (desire to nurture their children and their sick-dying parents). Momen pertentangan  ini menjadi titik awal  mereka yang memilih menjadi radical homemakers. Radikalisme ini memiliki  berbagai tingkatan, mulai dari melepaskan diri dari komitmen dengan korporasi yang kemudian diikuti dengan perombakan gaya hidup menyesuaikan dengan penghasilan, berusaha untuk self-sufficient dengan sedikit sekali bergantung pada "kekuatan uang" melainkan proses kreatif memproduksi sendiri kebutuhan hidup mereka. Radikalisme itu terus berkelanjutan, bahkan sampai pada hal-hal yang dianggap mustahil oleh orang kebanyakan; tidak memiliki kendaraan bermotor, mendirikan rumah sendiri secara bertahap, tidak bergabung dalam asuransi kesehatan bahkan rencana pensiun, serta merawat dan mendidik sendiri anak-anak mereka (child care dan homeschooling). Radical homemakers tidak perlu mengandalkan gaji dari korporasi untuk membiayai gaya hidup yang mereka nikmati. "These people are producing life, not buying it". hal.209.
 
**** 
 
Shannon Hayes adalah seorang PhD jurusan Sustainable Agriculture and Communitiy Development dari Cornell University yang kemudian memutuskan untuk bergabung bersama orangtuanya mengelola lahan dan peternakan mereka. Meskipun mengenyam pendidikan tinggi dan siap untuk bersaing di pasar kerja, Hayes yang tumbuh di ladang dan peternakan lebih memilih untuk melanjutkan gaya hidup keluarga dan masyarakat sekitarnya, aktif mempromosikan local-food system, pertanian yang berkesinambungan dan home cooking sebagai upaya membiasakan pola makan sehat. Hayes menyatakan tidak pernah berniat menulis buku ini sampai kemudian ia bertemu seorang feminis yang tengah berada di persimpangan, gamang dan bertanya:

"apakah dengan mengorbankan kemandirian yang dimiliki sekarang untuk menjadi radical homemakers dengan standar hidup yang lebih rendah akan tetap memberikan "identitas" dan kesuksesan, apapun definisi kesuksesan itu? tidak takutkah perempuan malah akan kembali terjebak dalam peran rumah tangga yang merupakan simbol opresi terhadapnya?" hal 5.

Pertanyaan tersebut yang mendorong Hayes mengumpulkan data perkembangan peran homemaker dari masa ke masa, lahirnya disiplin ilmu home economics  dan kaitannya dengan budaya konsumerisme, pola makan dan tatanan keluarga/masyarakat. Hayes lalu mengunjungi dan mewawancarai para radical homemakers dan kemudian menuliskannya dalam sebuah buku yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa radical homemaking adalah gaya hidup yang lebih adil dan bertanggungjawab secara sosial bagi kelangsungan alam dan kesejahteraan manusia, sekaligus tetap mengusung nilai-nilai feminisme. 

Hayes lebih banyak menuliskan pertentangan batin dan nilai-nilai yang diusung para radical homemakers apa adanya saat diwawancarai. Saya bolak balik manggut-manggut kemudian geleng-geleng kepala sendiri. Banyak sekali kesamaan pola pikir saya dengan para radical homemakers tersebut, tapi tidak sedikit juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Di bagian akhir buku ini, Hayes menuntun pembaca mengenali pada tahap apa gaya hidup kita sebagai homemaker saat ini, lalu dengan jelas membimbing kita (melalui pengalaman-pengalaman yang dituturkan para radical homemakers) tentang bagaimana cara beralih ke gaya hidup sebagai radical homemaker melalui tahapan-tahapan renouncing (menyadari ilusi kebahagiaan semu dari budaya konsumerisme), reclaiming (mulai menemukan dan menggunakan kembali homemaking skills yang telah lama terlupakan), dan rebuilding (secara konkrit menularkan gaya hidup yang baru kepada masyarakat sekaligus memaksimalkan potensi dan kreatifitas diri). Meskipun saya yakin setidaknya saya sedang berada di tahap kedua, rasanya tidak mungkin (tidak ingin?) untuk kemudian menapak ke tahap selanjutnya.

Saya pernah membaca kekecewaan pembaca buku ini karena Hayes dan para radical homemakers memang sedari awalnya "bukan homemakers biasa" karena toh mereka sudah memiliki modal awal berupa keahlian dan aset lahan yang hidup dan menghasilkan, sesuatu yang sulit dicapai oleh orang lain yang mungkin harus bekerja seumur hidupnya untuk memiliki lahan sendiri. Ternyata saya berpendapat hal itu bukanlah "modal" yang harus dimiliki saat seseorang menjadi radical homemakers. Berusaha memasak sendiri, menanam sayuran/buah organik, mengelola halaman, memperbaiki kerusakan rumah atau kendaraan dan lain-lain sendiri ketimbang menggunakan jasa profesional, selain hemat juga memberi kepuasan tersendiri dan bisa dilaksanakan siapa saja. Masalah terpelik yang saya temukan justru adanya benturan-benturan dengan nilai-nilai masyarakat di sekitar kita.

Contoh "benturan" yang saya maksud adalah, misalnya ketidak ikutsertaan radical homemakers dalam asuransi kesehatan. Karena sebagian besar kegiatan produksi mereka langsung dikonsumsi sendiri, tanpa perantaraan uang atau tak memiliki penghasilan resmi, memang sulit untuk ikut berkontribusi membayar asuransi kesehatan. Tapi tidak sedikit dari mereka yang menggunakan subsidi pelayanan kesehatan, meskipun mereka juga membatasi, misalnya hanya untuk kondisi gawat darurat atau hanya untuk anak-anak mereka yang masih kecil saja.  Para radical homemakers mengakui merasa bersalah atas hal ini, tapi menurut saya ini bukan sekedar rasa bersalah atau tidak, tapi justru sudah mengusik rasa "keadilan sosial" yang merupakan core value, nilai yang melahirkan gaya hidup radical homemaking itu sendiri. Mungkin loophole dalam sistem asuransi kesehatan AS juga menjadi salah satu penyebabnya, tetapi bukankah radical homemakers ini jadinya menikmati kualitas hidup yang lebih baik karena tidak harus menjadi "budak korporasi" tetapi di lain pihak mereka menikmati fasilitas yang secara patungan dibiayai oleh "budak korporasi" tersebut?

Benturan lainnya adalah kewajiban membayar pajak atas aset berupa lahan yang dimiliki, misalnya property tax  dan inheritance tax. Berbeda dengan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan dan rencana pensiun yang bisa jadi voluntary, aturan pajak bersifat compulsory atau memaksa. Dengan tren kebijakan memperluas objek inheritance tax, misalnya Jepang yang menurunkan nilai aset kena pajaknya, apakah radical homemakers akan menolak membayar pajak? atau patuh membayar pajak tetapi harus rela menjual asetnya dan menyingkir ke tempat yang menawarkan lahan yang lebih murah, dan meninggalkan komunitas yang telah menyokong hidupnya?

Di akhir tulisannya, Hayes sendiri menyatakan tidak dapat menjawab dengan tegas pertanyaan sang feminis gamang diatas, Hayes justru menyadari bahwa pertanyaan tersebut mungkin merupakan pertanyaan besar dalam hidupnya. Apakah anak-anak mereka yang disiapkan untuk hidup bebas dari sistem ekonomi ekstraktif saat ini justru akan terseret dan kalah jika harus bertarung di dalamnya? atau justru akan menikmati dan lalu melanjutkan gaya hidup radical homemaking? Terlepas keraguan Hayes sendiri (yang menurut saya hanya menunjukkan kerendahan hati beliau) dan benturan-benturan nilai yang saya sebut diatas, saya merasa buku ini telah mencapai tujuan penulisannya. Selesai membaca buku ini, tidak seperti gaya hidup konsumerisme yang menjanjian illusionary independence-kemandirian semu yang merupakan sisi lain dari ketergantungan terhadap korporasi dan pasar, saya berpendapat radical homemaking dapat menjadi alternatif gaya hidup yang mempromosikan inter-dependence- saling ketergantungan, yang akan membuat setiap orang lebih bertanggung jawab terhadap pasangan, keluarga, komunitas lokal dan terakhir, kelangsungan bumi yang dipijaknya.  


Comments

  1. wah menarik sepertinya bukunya ini teh..

    wuihhh top reviewnya :)

    ReplyDelete
  2. Buku yang sangat menambah wawasan. Terima kasih sudah sharing, Mak. ^^

    ReplyDelete
  3. makasih abang, lumayan menarik dan gak bosenin meskipun tema feminisme :)

    ReplyDelete
  4. Iya betul, tidak melulu tema mommy war tapi lebih universal. Terimakasih mbak Nia Haryanto.

    ReplyDelete

Post a Comment

Tulisan Terpopuler

Antara Angelina Jolie dan Marie Kondo

Selesai sudah tugas membesarkan anak! 子育てはもう卒業します oleh Miu Kakiya

Submission oleh Michel Houellebecq